Sebab
marah adalah muaranya kerendahan akhlaq. Kekecewaan yang jadi kemarahan,
kesedihan yang jadi kemarahan, kedengkian menjadi kemarahan, iri, sombong,
lemah dan kekakuan yang bermuara jadi kemarahan. Lemahnya orang yang sering
marah, hinanya mereka, permulaan karena menghinakan diri sendiri.
Kemarahan
itu ibarat aku. Ya, kerendahan akhlaq semacam itu. Ketika kusadari bahwa
kemarahan yang ditumpuk menjadi kesedihan itu lebih khusyuk, lebih melankolis, lebih
banyak air mata, lebih penuh kesyukuran.
-THE
GAP-
Ini tentang hal lain. Tentang sesuatu yang benar-benar
lain. Dimana fokus bicara
akan menentukan akarnya. Di tempat dimana aku bisa berdiri dan memandangi
dilematika faktorial antara aku
dan setiap orang.
Biasa saja, sederhana saja. Tidak untuk menjadi beda.
Tidak banyak aksesoris. Membuka kembali lembaran kasus demi kasus, dilematika
dan perhelatan dunia. Yang dzahir,
yang bathin.
Sebab katanya ‘hatiku ini ibarat tanah gersang’. Maka ‘tidak
mudah bertumbuh tanaman di atasnya’. Namun ‘sekali mencengkram maka tak akan
akarnya tercerabut’. Katanya ‘hatimu itu ibarat akaran tanah gersang’. Untuk
‘menemui akar tumbuhan sejatinya’. Yang ‘tak mampu tercerabut’. Sehingga ‘hatiku pun akaran
tanah gersang, hatimu tanah gersang’. Dan ‘bagaimana bisa bertemu akaran dan
tanah gersangnya?’.
“The
one who confused for you was just the silly one.” Kata seseorang di masa lalu.
“Tidak akan tercurah kecintaan Allah untuk yang hatinya
getir mencintai. Barakallah untuk orang-orang yang
hatinya penuh kasih sayang.” Ujar seseorang setelahnya.
“I just transfer you the most precious
things in life. The named is “perspective”. You just have to look to everything
until you die, just found release yourself, you just can face it easily.
It’s all the same, both of us”
lanjutnya
“itu Cuma hasutan setan, jika kau berpikir sesempit hanya
bertumpu pada saya dan ruangan ini.
Begitu banyak orang yang dapat dijadikan saudara di luar sana. Bumi Allah
begitu luas.” Katanya, khusyuk
Kini aku telah bertemu tokoh-tokoh yang begitu kuat dalam
imajinasiku. Mereka, keduanya, tokoh yang begitu membuatku bersyukur. Yang
keduanya bertolakbelakang. Yang keduanya, kata-katanya selalu kudenngarkan
sampai jelas, yang kusediakan memori khusus untuk mereka.
“Bahwa
yang ditinggalkan untuk ummat Islam ini hanyalah ilmu. Rasulullah saw bersabda,
sebagian dari kalian mengambil banyak, sebagian lagi hanya sedikit. Tapi bahkan
bukan imannya. Berdoalah, agar dikuatkan keimanan, agar luntur segala
kepalsuan, dalam kuatnya juga hasutan setan.” Suara senyum renyahnya retak, aku
merasakan kekhawatirannya walau tak melihat wajahnya
“Wallahu’alam.” sambungnya
“I will never confused, while I leave you.
Even its on the forest. You just carry yourself by your big head-stone. Haha. Do what you want, on a track, you
found what must. That’s all. Just see. It’s all the same about us.” Ujarnya lalu tertawa, memelukku yang di pangkuannya
“Don’t let people see who’s the really you.”
Katanya, mengakar, mencengkram, sebuah mainstream
besar yang begitu luxurious, bagiku.
“So I don’t need to have the-really-me. It’ll bother me so
far.” Balasku.
Ia terdiam.
Kata-kataku mungkin
telah terijabah pada saat itu juga.
No comments:
Post a Comment