Friday, September 13, 2013

Ailona (2)

Namanya Ailona. Aku tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi kepadanya. Hanya tahu bahwa ia begitu putih, menggigil, biru lebam, kesakitan. Ah, putih, cantik dan manis, seperti tanpa lebam atau kesakitan karena menggigil. Telah lupa ia sebenarnnya apa yang menuansa jadi biru. Apa yang menuansa menjadikannya putih. Wajahnya yang hanya boleh tersapu matahari maksimal 3 jam sehari, jadi kaku membedakan, menarik demarkasi warna dan aliran darah. Bingung, sudah bingung ia.

Sekedar bahwa, namanya Ailona.

Aku pernah menulis tentangnya, sekali. Tapi tidak ada yang komentar. Atau membuang wajah sangar. Seakan sangkar-sangkar melayang jadi hingar bingar, terbang, terbang, pergi berlayar. Sekali. Tapi tidak ada yang komentar.

Karena tidak mengenalnya. Ailona tinggal di tempat yang tidak dikenal mereka. Ia hidup di perbatasan gunung dan lautan, poros manja soal kehidupan. Tinggi dan kedalaman. Sama tinggi sama rendahnya. Ailona namanya, Ailona namanya.

Karena tidak mengenalnya. Ailona bertarung di peperangan yang tidak masuk dalam kamus peradaban mereka. Ia berdarah di perbatasan bunga dan sintesa. Asli dan bohongan. Sama kaku sama wanginya. Ailona namanya, Ailona namanya.

Karena tidak mengenalnya. Ailona menggigil di suhu yang tidak dicatat dalam termo logika mereka. Ia membiru dan lebam di perbatasan pujian dan kutukan, tarikan sentrifugal tanggapan orang banyak. Ditarik dan ditolak. Sama terbuka sama tertutupnya. Ailona namanya, Ailona namanya.

Aku baru sekali kemarin menulis tentangnya, Ailona bilang, itu bukan aku. Itu bukan aku. Lalu kau, lalu kau, Ailona namanya.