Segala puji bagi Allah Rabb As Salam, Tuhan semesta alam. Tuhan sesembahan Rasulullah Muhammad, sulut cahaya akhir zaman. Tak ada-lah lagi tendensi sempurnanya siklus sujudnya jagat selain mengagungkan namaNya. Tak ada lagi ketundukan dan pembelaan selain kepadanya.
Seorang pendiri mazhab psikologi humanistic; Abraham Maslow, telah dengan sedemikian rupa merumuskan hierarki kebutuhan manusia. Sebuah tanggaan yang dipersepsinya sebagai unitas asasi dari fase-fase metamorfosa bayi adam. Sekaligus pemetaan yang menstratifikasi manusia dalam kuncian-kuncian kotom orientasi.
Maslow’ hierarchi of needs, sebuah nama mewah untuk sebuah teori yang jadi pijakan banyak percabangan pemikiran setelahnya. Di dalamnya, ter-uraikan konsepsi keterbutuhan bertingkat, dimulai dengan kebutuhan fisiologis,keamanan, social, penghargaan dan aktualisasi diri. Selanjutnya di luar semua kritik atas derivasi yang berbenturan di lini validitas pemetaannya, ia tetap sebuah utuhan teori yang dianggap paling solutif sampai saat ini. Dan juga, di luar kesuksesan justifikasi atas semua kritik, teori ini pun tetap tak relevan dalam ranah rumusan pragmatis.
Sebab ia tak bisa merangkum bingkisan orientasi dan motivasi penulis dalam merampungkan esai ini. Jika dilihat dari sudut pencukupan kebutuhan fisiologis atau keamanan, esai ini samasekali tak berhubungan secara simultan – mengingat orangtua yang mengirim uang bulanan dan Indonesia yang sentosa tanpa perang. Sementara dari sudut social dan penghargaan, juga samasekali tak berasosiasi sempurna – mengingat jaringan social pribadi yang tidak terkena dampak serius dari peluncuran atau tidaknya esai ini. Lalu tentang aktualisasi diri? Ini yang rumit. Ini pertanyaan sulit. Dan rupanya, disinilah juga runutan teori Maslow yang incomplete. Sebab ke-empat tangga kebutuhan yang sebelumnya adalah juga temali dari kesadaran atas aktualisasi diri pribadi.
Sederhananya, esai ini adalah sebuah bingkisan ketulusan atas niat pembelajaran. Sebuah orientasi atas ter-rekrutnya isian loker-loker pemikiran. Sebuah motiv pembenahan atas nalar yang salah dan pembukaan ruang persepsi bagi para intelektual kampus.
WANITA DAN DUNIA : BENTANGAN DIALEKTIKA RASIONALISASI RASA DALAM ALAM FITRAH
Sebuah puzzle kata oleh seorang wanita muslim
Kurangkaikan, bait-bait kata di lingkupan ketundukan atas Illah Yang Maha Tinggi. Dalam sisipan kerinduan untuk perjumpaan di kepulangan. Kurangkaikan, bait-bait kata untuk qudwah Muhammad SAW. Dalam titian ketaqwaan untuk temali zaman yang menyatukan.
Kusampaikan doa, untuk saudaraku sekaligus initiator yang namanya tak perlu kusebutkan :D
Terkadang memendam ego yang begitu tinggi
Terkadang menyeruakkan airmata terdalam
Wanita... seakan sulit ku menggambarkan kondisimu
Begitu rapuh dan tak bisa luluh seketika
Idealisme tinggi tersulutkan rasa dalam hati
Tak mudah di terka, sulit di mengerti
Cerdas namun terkadang lambat
Manja tapi terkadang beringas
Tegas tapi begitu lembut
Sulit di mengerti apalagi disamakan apa yang namanya persepsi
Wanita... seribu bahasa maka seribu tanya pula
Wanita dan Dunia
Wanita, ialah suatu bentukan istilah yang niscaya mengantar impuls otak kita pada serangkaian kerumitan yang manis. Lebih dari itu, ia jadi bagian nyata dalam sisian kanan-kiri utuhan hidup warga dunia. Maka ia istimewa. Entah sekedar dalam narasi istilah dan perspektif rujukan katanya atau dalam analisis praksis tentang deskripsi entitasnya.
Senandung dan lukisan adalah dua material seni yang tentunya selalu jadi rumusan keindahan. Keduanya dipahami sebagai bingkai rasa penggubahnya. Selanjutnya lihatlah senandung cinta yang dikabarkan setiap penggubah kata-kata. Bahwa disana, wanita jadi inspirasi yang mencahayakan sekaligus artesis permasalahan. Mereka – para penggubah lagu kata-kata – tak akan lepas dari tema cinta layaknya tak mampu berlari dari istimewanya wanita. Selidikilah hasil karya para profesional penuh dedikasi sosial sekelas Iwan Fals atau Ebiet G Ade, tentu kita bisa menyebutkan sederetan judul lagu tentang peng-istimewaan makhluk yang dicipta dari tulang rusuk ini. Sementara menelisik lebih jauh tentang lukisan cukuplah kita sama tahu bahwa sampai abad 21 ini, lukisan wanita Italia bernama Monalisa tetaplah jadi bingkai karya yang paling fenomenal di kalangan seniman lukis dan penikmat karya seni. Sehingga dari sini, dapatlah dikatakan bahwa wanita memang istimewa. Bahkan hanya dalam narasi istilah dan perspektif kajian katanya; mereka indah.
Di sisi lain, sejarah telah mengungkap fakta bahwa dahulu wanita di persepsi sebagai sejenis manusia gagal yang tak berharga. Dahulu katanya, mereka kotor karena haid-nya. Mereka tak berguna karena lemahnya. Selanjutnya, mereka hanya jadi objek diskriminan perputaran zaman. Orang-orang Arab mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan mereka. Orang-orang Yunani menujukan kutukan pada para gadis, sebab mereka dianggap sebagai setan-setan yang menjijikkan. Orang-orang Romawi memperjualbelikan dan menukar putar istri-istri mereka. Ah, teganya. Tentulah mereka telah lupa tentang sesosok manusia penuh cinta yang dulunya melahirkan dengan susah payah.
Sejalan perkembangan dan dinamika pembaruan pengetahuan tersampaikanlah sebuah kalimat tinggi dari seorang suci. Beliau, Rasulullah Muhammad SAW, melanjutkan seruan isi agamanya di tanah tandus Arabia, bahwa ibu tiga kali lebih patut di angkat kemuliaannya daripada ayah. Lalu Khadijah binti Khuwailid yang disebut-sebut namanya penuh kerinduan saat beliau berkurban belasan tahun setelah kepergiannya. Juga 'Aisyah binti Abu Bakr yang kesuciannya dituliskan dalam bait-bait An-Nuur, Al Qur'anul Karim. Wanita kala itu, jadi entitas yang dijaga kehormatannya, yang penodaan atas hijabnya adalah ultimatum perang. Dan kesempurnaan istimewanya sampai-sampai menjadikan Nusaibah binti Kaab menghadap Rasulullah untuk mengadukan perimbanganya.
Setelahnya, dikenal juga sejejeran Elizabeth, Ratu Inggris. Atau Wilhemina, Beatrix dan Juliana, Ratu Belanda yang menggantikan era moyangnya, pangeran dan raja bergelar William. Lalu lahirlah cahaya dalam gelap, Kartini. Hingga Indonesia mengangkat Megawati Soekarno Putri di salahsatu episode kesejarahannya. Atau Benazir Bhuto yang memimpin Pakistan dalam dua gelombang ke-perdana menteri-annya. Sehingga dari sini, dapatlah pula dikatakan bahwa wanita memang begitu istimewanya. Bahkan dalam perjalanan dinamika analisis praksis tentang deskripsi entitasnya.
Puzzle Satu : Bentangan Dialektika
Rumit, ya, itulah mungkin kenyataan yang memasifkan bentuknya dalam setiap pembicaraan mengenai wanita. Dinisbatkan ia sebagai tulang rusuk laki-laki. Ditinggikan ia sebagai ibu. Dikutuk jugalah ia atas kerusakan moral yang melanda
menyempurnakan juga bisa jadi belati yang mematikan. Dikatakan mereka, wanita bisa jadi permata yang menyempurnakan juga bisa jadi belati yang mematikan.
Kajian psikologi belakangan ini membentangkan suatu konsep dwi bagian abstraksi kemanusiaan, yakni emosi dan intelektualitas. Perpanjangannya, disebutlah golongan wanita ini sebagai jenis manusia yang cenderung dalam sisi emosional. Sebab ia begitu penyayangnya, sebab ia begitu mudah luruh tangisnya. Sebab ia disebut wanita karena bingkisan perasaannya yang dalam. Dalam unitasnya, setiap wanita adalah dialektika dalam dirinya sendiri.Dibentangkan di balik asas-asas karakteristik citra kecantikannya. Mengakar dalam rumusan takdirnya, bahwa ia memang seorang wanita tatkala – di samping sebab alasan biologisnya – tercitrakan bersama runutan emosi yang lebih.
Puzzle Dua : Rasionalisasi Rasa
Perhubungan berikutnya adalah mengenai keseimbangan penyelesaian setiap stagnasi permasalahan yang menemuinya. Sebab kita sama tahu bahwa kehancuran era Romantik adalah sebab pengabaiannya atas orientasi nilai pembenaran rasional. Karya Shakespare yang mengagumkan itu telah menghalalkan pemberontakan atas nama perasaaan yang di anggapnya kekuatan. Di dalamnya di halalkan pula membunuh diri karena rasa. Penghalalan hal haram atas nama perasaan telah melebur zaman ini jadi literature yang sekedar dikenang sebagai sejarah pemikiran.
Lalu lihatlah bagaimana romantika selebriti yang tengah menggejala akhir-akhir ini. Dimana wanita jadi focus show dilemmanya. Tentang Utami Mariam Siti Aisyah, istri Pepeng yang begitu setia mendampingi suaminya yang terkapar sakit. Atau tentang artis wanita super tenar yang menikah dengan laki-laki lain setelah meninggalkan suami dengan dua anaknya. Di luar semua ketidak-valid-an data atas dramatikal kisahnya, anggaplah jika memang ada dua versi kisah mengharukan tentang wanita, manakah yang akan anda pilih sebagai doa? Maka kini rasa bisa jadi begitu cantiknya, tapi masihkah, jika bunda Utami tidak merasionalisasi pertimbangan perasaannya sehingga meninggalkan suaminya? Padahal jika ia mau, tentulah kasih bisa dikebelakangkan dengan alasan ketuaan atau ketidakberdayaan. Tapi ia tidak, ia seutuh-utuhnya wanita, yang cerdas merasionalisasi rasanya dalam ikatan jadi antara ia dan Ferrasta Soebardi, suaminya.
Sehingga tak mungkinlah seutuh-utuhnya wanita yang walaupun memberi kecondongan pada pandangan intuitif, menjalani setiap refleksi bagian hidupnya dengan menekuri dan menangisi tanpa henti. Disinilah rasionalisasi rasa yang berkali-kali dilakukannya untuk mengontrol objektifitas dalam jalan solutif. Ia rupanya haruslah menjadikan perasaannya sebagai mahkota dengan tetap mempertahankan posisinya di kepala.
Puzzle Tiga : Alam Fitrah
Setidak-tidaknya 55 ayat Al Qur'anul Karim memuat peristilahan wanita dalam berbagai derivasinya. Dimulai dari perlindungan atas wanita dan pengkhususan atas peruntukkannya hingga pengutukan atas wanita yang menyihir di kejauhan lewat buhul-buhul. Al Qur'an telah merangkumkan segala konsepsi ushul fitrah yang merujuk keharusan atas impact kekhususannya, refleksi dan pembagiannya.
Dalam pada itu, termaktub dalam salahsatu ayat Al Qur'an bahwa, ter-ilhamkan kepada manusia sisian fujur dan taqwa yang kemudian perpanjangannya disebut rasulullah SAW sebagai hati, dimana apabila baik hati ini maka baiklah semua lini diri dan sebaliknya. Ya, inilah fitrahnya, inilah hati. Sebuah mekanisme rasionalisasi rasa yang menjadikannya bentangan dialektika dalam setiap wanita dan dunianya. Alam fitrah yang disebut hati inilah server untuk semua masukan simbolisasi emosi dan rasional. Maka mengembalikan wanita pada kefitrahannya, ialah bukan dalam suatu pandangan sentimental bahwa ia sekedar pelengkap laki-laki yang walaupun disamakan kedudukannya tapi ditepikan peranannya. Tak ada kekurangan darinya. Ini hanyalah masalah perbedaan yang sempurna kejadiannya.
Puzzle Empat : Sempurna
Bahwasanya segala kerumitan akan berujung pada manisnya pengkhususan. Bahwa fitrahnya telah meninggikannya. Menjadikan ushul kejadiannya sebagai jalan bagaimana ia seharusnya. Ya, ialah wanita tatkala menjadikan perasaannya sebagai mahkota dengan tetap mempertahankan posisinya di kepala.
Setelah fitrah memadamkan sinisme atas perhubungan dan perbandingannya. Sebab sebenarnya ini hanya masalah beda. Beda dalam isian perimbangan kejadian. Beda dalam proyek penikmatan sunnah ilahiah. Sempurna.
BEHIND THE SCENE
Sebuah perlombaan memang tak pernah terlalu menarik bagiku. Ketika mereka katakan, bahwa agama ini pun mengajarkan untuk saling berlomba-lomba. Dibahasakan mereka padaku, "fatabiqul khairaat". Ya, aku mengerti. Ya, kalian dan orang-orang sebelum kalian telah membantuku mengilhami.
Tentang kemenangan, ya, busuk.
Lalu apa setelah kemenangan yang menjatuhkan?
Sebuah peperangan perimbangan yang banyak menyita waktuku empat tahun terakhir. Setelah dinyatakannya kemenangan dua medali yang kudapatkan dengan mudah. Setelah tangis pecah karena para "pejuang" terkalahkan oleh seorang "pemalas brilian". Haha. Gila. Hidup memang kadang membingungkan.
Dan aku mulai bertanya... Suatu mekanisme jagat dan semesta. Ya, tak kusangka. Kembali lagi jadi seperti ini.
Lalu beliau kembali berkata, "Wah hebat, ya, usaha dikit aja menang."
Di tepian para "pejuang" yang tak menang.
#trauma
Hmmm.. ya, terserahlah. Ini sebuah standarisasi pikir seorang bocah rebellion saja. Bagaimana menurut anda, sahabat? :)
Wednesday, April 27, 2011
Wednesday, April 13, 2011
Demanding
Biasan hujan mengalirkan warna suaranya lagi hari ini, kawan. Sementara aku masih bergidik ngeri, jijik!
Kau lihatkah, di sudut sana, kerlip bintang tak lagi memunculkan sinarannya malam nanti. Bulan cemara tak tampilkan keteduhan prismanya di locus-locus mimpi.
Ya, kau tentu tak akan bisa melihatnya. Sebab kita jauh. Sebab itu tentang malam nanti. Ya, itu tentang MIMPI!
Halaah... kau pasti tahu, bahwa paradoks selalu tampil dengan kotom yang mengesankan. Ini basah, ini kering. Persepsi belaka. Sementara aku selalu temukan lembab di gudang-gudang cucian otakku. Setengah, bohong sampai ke akar-akar.
Kau juga pasti pernah mendengar nada serasah daunan kering di pelataran sekolah kita dulu. Sebab dulu kita bersama, sebab dulu kita sengaja. Kau, nikmatilah pucuk-pucuk kata berharga. Karena bagiku kau begitu sempurna.
Kawan, katamu masa depan begitu indah. Kurasa kini, jika kau katakan lagi, inilah masa depan. Terlalu muda, kawan, terlalu muda. Sebab kita terpisah, sebab kita tak sengaja. Kau, nikmatilah lagu cinta dari bisikan bersahaja bulan malam nanti. Karena bagiku perputarannya begitu mewah. Seperti penerjemahan bahasa sederhanamu yang indah.
Lalu aku jadikan sabit setengah temaram di lelapan tidurku malam nanti. Hangat. Di pojok ruang itu, kawan. Kita akan kembali mengangkasa bersama.
Sebab itu nanti. Sebab itu malam ini. Sebab itu dalam yang termimpikan kembali.
Kau lihatkah, di sudut sana, kerlip bintang tak lagi memunculkan sinarannya malam nanti. Bulan cemara tak tampilkan keteduhan prismanya di locus-locus mimpi.
Ya, kau tentu tak akan bisa melihatnya. Sebab kita jauh. Sebab itu tentang malam nanti. Ya, itu tentang MIMPI!
Halaah... kau pasti tahu, bahwa paradoks selalu tampil dengan kotom yang mengesankan. Ini basah, ini kering. Persepsi belaka. Sementara aku selalu temukan lembab di gudang-gudang cucian otakku. Setengah, bohong sampai ke akar-akar.
Kau juga pasti pernah mendengar nada serasah daunan kering di pelataran sekolah kita dulu. Sebab dulu kita bersama, sebab dulu kita sengaja. Kau, nikmatilah pucuk-pucuk kata berharga. Karena bagiku kau begitu sempurna.
Kawan, katamu masa depan begitu indah. Kurasa kini, jika kau katakan lagi, inilah masa depan. Terlalu muda, kawan, terlalu muda. Sebab kita terpisah, sebab kita tak sengaja. Kau, nikmatilah lagu cinta dari bisikan bersahaja bulan malam nanti. Karena bagiku perputarannya begitu mewah. Seperti penerjemahan bahasa sederhanamu yang indah.
Lalu aku jadikan sabit setengah temaram di lelapan tidurku malam nanti. Hangat. Di pojok ruang itu, kawan. Kita akan kembali mengangkasa bersama.
Sebab itu nanti. Sebab itu malam ini. Sebab itu dalam yang termimpikan kembali.
Monday, April 4, 2011
Konstitusionalisme UU Koalisi
Konstitusionalisme UU Koalisi
Sebuah Tinjauan Positivis Constituendum
Oleh: Mira Fajriyah
“A Constitution is not the act of government but the people constituting a government” Thomas Paine
Indonesia merupakan sebuah bangsa yang menegara dengan kompleksitasnya. Termasuk dalam hal hukum dari berbagai seginya. Sebab jika terkatakan hukum merupakan unifikasi norma bagi penertiban hidup bersama maka sangat otomatis, ke-bhineka-an bangsa ini adalah semacam gurita besar yang patut diperlakukan khusus. Unifikasi kehukuman RI tertata dalam hierarki perundang-undangan pasal 7 UU no 10 tahun 2004. Lima wujud hukum yang tercantum antara lain, UUD NRI 1945, dilanjutkan UU/Perpu, PP, Perpres, Perda. Lalu munculah pertanyaan, dimanakah konstitusi? Lalu bagaimana perhubungannya dengan penyelesaian kasus-kasus politik yang tak tercakup legitimasi formil?
Mungkin karena KUHP dan KUHPer yang belum di-reformasi total, paradigma hukum nasional yang mengemuka di kalangan sebagian mahasiswa hukum berbunyi, RI adalah penganut civil law system yang setia. Sementara menurut kami paradigma tersebut samasekali tak berlaku bagi kehidupan ketatanegaraan yang dinamis. Sebab pertanyaan di atas hanya bisa dijawab melalui analisis yang komperhensif mengingat rumusan jawabannya merupakan wujud representatif sebuah persepsi yang di-insyafi tiap-tiap warga negara, terutama pada akademisi dan praktisi hukum serta pejabat pemerintahan dan pelaku politik kenegaraan. Selain itu, paradigma yang keliru itu juga akan menyebabkan kita terburu-buru mendefinisi UUD NRI 1945 sebagai konstitusi paripurna sementara dinamika hukum telah mencapai kulminasi keterbutuhannya di tengah fakta bahwa, ke-bhineka-an bangsa ini memang semacam gurita besar yang patut diperlakukan khusus. Hal ini ditandai dengan legitimasi pluralisme dalam satu bentuk perundang-undangan yang bukanlah hal baru, satu di antaranya, UU no 1 tahun 1974. Maka dalam hal ini, patutlah dipahami bahwa konstitusi adalah rumusan rel constituendum sekaligus cerminan keterbutuhan politis dan yuris yang sifatnya constitutum.
Tinjauan positif yang dimaksudkan disini merupakan konotasi diksi “konkret, constitutum, pertimbangan pragmatis-realistis, representasi umum”. Sementara constituendum adalah padanan, “masa depan, cita-cita, pertimbangan idiil dan abstraksi”. Keduanya kami kedepankan sebagai perspektif analisis kami terhadap relevansi UU koalisi terhadap nilai konstitusi RI.
A. Konstitusi
Konstitusi secara positif dimaknai dalam dua ruang pengertian, yakni luas dan sempit. Dalam artian sempit, konstitusi adalah piagam dasar atau undang-undang dasar (Loi constitutionallle) yang merupakan suatu dokumen lengkap mengenai peraturan dasar negara. Sementara dalam artian luas, konstitusi adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar.
Dalam bukunya, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Prof. Jimly Asshiddiqie menuliskan, “dalam bahasa Inggris dan Amerika tidak tersedia kata yang tepat untuk menggambarkan perbedaan antara konstitusi dan undang-undang dasar sebagaimana perbedaan antara kedua pengerian ini dalam bahasa Jerman, Belanda, Prancis dan negara-negara eropa kontinental lainnya.” Maka dapatlah ditarik suatu klausul bahwa kemunculan rumusan definisi konstitusi dalam ruang sempit dan luas merupakan salahsatu impact dari paradigma kehukuman bangsa civil law dan common law.
Sementara Carl Schmitt memberikan rumusan yang lebih kompleks dalam pendefinisian konstitusi dengan jalan klasifikasi (pembagian). Menurutnya, pemaknaan konstitusi dapat dibagi dalam empat kotom dasar yang dua dari kotom tersebut terbagi lagi menjadi empat dan dua klas baru. Secara konkret, pembagiannya meliputi, konstitusi dalam arti absolut sebagai cermin de reele machtsfactoren, konstitusi dalam arti absolut sebagai vorm der vormen, konstitusi dalam arti absolut sebagai factor integratie, konstitusi dalam arti absolut sebagai norm der normen, konstitusi dalam arti relatif sebagai konstitusi dalam arti formil, konstitusi dalam arti relatif sebagai tuntutan segolongan borjuis, konstitusi dalam arti positif, dan konstitusi dalam arti ideal.
Maka, kembali dalam konteks Indonesia kita dipertemukan bahwa dogma kodifikasi yang menyebabkan kelahiran UUD NRI 1945 bukanlah sesuatu yang mutlak. Pemahaman para ahli mengenai konstitusi telah membawa kita pada persepsi bahwa pada intinya konstitusi tertulis hanyalah satu dari aksidensi konstitusi itu sendiri. Sementara esensinya tetaplah sebagai dasar untuk percabangan produk hukum yang selanjutnya.
B. Sifat Konstitusi
Formil dan materiil
Formil berarti tertulis sementara materiil dilihat dari segi isinya berisikan hal-hal bersifat dasar pokok bagi rakyat dan negara.
Rigid dan flexibel
Rigid berarti kaku sulit untuk mengadakan perubahan sebagaimana disebutkan oleh KC Wheare
Menurut James Bryce, ciri flexibel :
a. Elastis
b. Diumumkan dan diubah sama dengan undang-undang.
Tertulis dan tidak tertulis
C. Tujuan Konstitusi
Secara umum, hukum telah dimaknai sebagai produk yang mengusung tiga tujuan utama, keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Maka, konstitusi yang merupakan bagian pokok dari hukum itu juga memiliki tujuan yang sama. Perhubungan semacam ini juga terterapkan dengan pandangan beberapa sarjana yang merumuskan tujuan negara, yaitu negara konstitusional sebab negara merupakan perwujudan aplikasi rumus konstitusi.
E. Kasus Koalisi
Koalisi merupakan kata umum untuk menjelaskan suatu unitas yang terikat. Koalisi yang dimaksud disini adalah persatuan atau perikatan partai politik dalam ketatanegaraan RI secara positif. Secara umum, penggolongan partai politik saat ini dapat dibagi dua, yakni partai koalisi kabinet pemerintahan dan partai oposisi yang tidak duduk dalam eksekutif.
Bukan samasekali naif jika dikatakan bahwa politik merupakan akaran dari prosesi ketatanegaraan ini. Bahkan dalam suatu model ilustrasi, politik adalah daging yang membalut segala praktek HTN, HAN dan lainnya. Koalisi merupakan salahsatu konsekuensi sistem presidensial multipartai yang kini dibumikan di Republik Indonesia. Tak ada yang salah dengan koalisi. Sebab pasal 6A UUD 1945 telah mengisyaratkan kebolehannya dengan redaksi yang amat ramping, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”
Namun kembali pada konteks pencapaian tujuan negara konstitusional Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, koalisi telah menimbulkan semacam gejolak di kalangan elite politisi. Koalisi telah dirujuk sebagai benda berinti loyalitas yang tanpa inti tak ada lagi. Koalisi telah di anggap membuka sendiri kebusukan catur perpolitikan. Hingga wacana penerbitan UU koalisi pun merebak di media. Jafar Hafsah, Ketua Fraksi Demokrat menganggap pembelotan yang dilakukan kader mitra koalisinya pada rapat pemutusan angket mafia hukum adalah salahsatu kasus utama penyebab perlunya penerbitan UU koalisi tersebut.
Alasan itu kami kira tak ada sangkut pautnya samasekali dengan faktor yuridis, sosiologis dan filosofis hukum yang seharusnya mendasari setiap pembuatan produk hukum formil. Maka akanah konstitusional penerbitan UU koalisi tersebut?
Pada dasarnya ketika kembali pada kajian formil, UU di bawah UUD NRI 1945 haruslah merupakan proyek mandat langsung dari poin perundang-undangan di atasnya. Lalu dalam kajian materiil, hukum haruslah memenuhi landasan tujuan bagi kehadirannya, seperti yang sudah diketengahkan, setidaknya memenuhi tiga unsur tujuan hukum.Sementara alasan pembuatan UU Koalisi ini samasekali tak ada sangkut pautnya dengan faktor yuridis, sosiologis dan filosofis hukum yang seharusnya mendasari setiap pembuatan produk hukum formil.
F. Konklusi
Tinjauan Positif dalam pasal 6A UUD NRI 1945 jelas-jelas menggunakan redaksi lugas, bahwa koalisi (gabungan partai) hanyalah tergariskan untuk mengajukan dan memenangkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, bukan “memenangkan” arah kepemerintahan ke arah suatu rujukan ikatan koalisi tertentu.
Pertimbangan lain yang menjadikan terbitan UU Koalisi ini sah konstitusional antara lain, asas rechmatig dalam kajian HAN yang mengatakan bahwa semua putusan kepemerintahan (eksekutif) dianggap benar sejauh tak diputus inskonstitusional di muka pengadilan Mahkamah Konstitusi. Juga, adanya legitimasi umum atas independensi legislator negeri (DPR RI) sebagai lembaga simbol demokrasi nasinal. Namun secara positif pula, dapatlah kita tarik pernyataan-pernyataan yang mengemukakan pentingnya UU ini hanya sebatas alasan-alasan keterbutuhan politis dimana loyalitas mitra koalisi diformilkan.
Maka, dalam perspektif hukum progresif (constituendum), keberadaan UU Koalisi tidak akan terlegitimasi konstitusional. Pertama, konstitusi tertulis mensaratkan kebolehan koalisi hanya dalam ruang politik pemilihan kepala negara, bukan ruang politik mekanisme pelaksanaan amanat rakyat sebagai 'pemerintahan yang baik'. Kedua, hukum akan dibuat mengikuti mula keterbutuhannya, sehingga keterbutuhan pemerintah sebagai organis politis akan memberi efek indikasi abusement of power di kemudian hari. Ketiga, koalisi yang dimaksudkan dalam pewacanaan penerbitan UU Koalisi tersebut samasaja meletakkan negara secara sia-sia pada satu ikatan eksklusif organis politis tertentu, yang demikian tak pernah dicatat sejarah nasional Indonesia dan dunia sebagai karangan indah. Konsep check-balance tidak akan berjalan dan orang-orang di luar lingkaran akan tertandaskan.
G. Daftar Bacaan
Asshiddiqie, Prof. Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. 2009.
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
UU no 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
nasional.kompas.com/read/2011/03/14/16471646/Demokrat.Sebut.PDI-P.Anggota.Koalisi
www.antaranews.com/berita/247931/bambang-soesatyo-gagasan-uu-koalisi-menyesatkan
nasional.kompas.com/read/2011/02/27/18075796/Demokrat.Seharusnya.Dibuat.UU.Koalisi
nasional.kompas.com/read/2011/02/28/1307019/UU.Koalisi.Cermin.Kekhawatiran.Demokrat
www.detiknews.com/read/2011/02/27/130256/1580346/10/perlu-uu-koalisi-untuk-membangun-koalisi-yang-stabil
dll
Sebuah Tinjauan Positivis Constituendum
Oleh: Mira Fajriyah
“A Constitution is not the act of government but the people constituting a government” Thomas Paine
Indonesia merupakan sebuah bangsa yang menegara dengan kompleksitasnya. Termasuk dalam hal hukum dari berbagai seginya. Sebab jika terkatakan hukum merupakan unifikasi norma bagi penertiban hidup bersama maka sangat otomatis, ke-bhineka-an bangsa ini adalah semacam gurita besar yang patut diperlakukan khusus. Unifikasi kehukuman RI tertata dalam hierarki perundang-undangan pasal 7 UU no 10 tahun 2004. Lima wujud hukum yang tercantum antara lain, UUD NRI 1945, dilanjutkan UU/Perpu, PP, Perpres, Perda. Lalu munculah pertanyaan, dimanakah konstitusi? Lalu bagaimana perhubungannya dengan penyelesaian kasus-kasus politik yang tak tercakup legitimasi formil?
Mungkin karena KUHP dan KUHPer yang belum di-reformasi total, paradigma hukum nasional yang mengemuka di kalangan sebagian mahasiswa hukum berbunyi, RI adalah penganut civil law system yang setia. Sementara menurut kami paradigma tersebut samasekali tak berlaku bagi kehidupan ketatanegaraan yang dinamis. Sebab pertanyaan di atas hanya bisa dijawab melalui analisis yang komperhensif mengingat rumusan jawabannya merupakan wujud representatif sebuah persepsi yang di-insyafi tiap-tiap warga negara, terutama pada akademisi dan praktisi hukum serta pejabat pemerintahan dan pelaku politik kenegaraan. Selain itu, paradigma yang keliru itu juga akan menyebabkan kita terburu-buru mendefinisi UUD NRI 1945 sebagai konstitusi paripurna sementara dinamika hukum telah mencapai kulminasi keterbutuhannya di tengah fakta bahwa, ke-bhineka-an bangsa ini memang semacam gurita besar yang patut diperlakukan khusus. Hal ini ditandai dengan legitimasi pluralisme dalam satu bentuk perundang-undangan yang bukanlah hal baru, satu di antaranya, UU no 1 tahun 1974. Maka dalam hal ini, patutlah dipahami bahwa konstitusi adalah rumusan rel constituendum sekaligus cerminan keterbutuhan politis dan yuris yang sifatnya constitutum.
Tinjauan positif yang dimaksudkan disini merupakan konotasi diksi “konkret, constitutum, pertimbangan pragmatis-realistis, representasi umum”. Sementara constituendum adalah padanan, “masa depan, cita-cita, pertimbangan idiil dan abstraksi”. Keduanya kami kedepankan sebagai perspektif analisis kami terhadap relevansi UU koalisi terhadap nilai konstitusi RI.
A. Konstitusi
Konstitusi secara positif dimaknai dalam dua ruang pengertian, yakni luas dan sempit. Dalam artian sempit, konstitusi adalah piagam dasar atau undang-undang dasar (Loi constitutionallle) yang merupakan suatu dokumen lengkap mengenai peraturan dasar negara. Sementara dalam artian luas, konstitusi adalah keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar.
Dalam bukunya, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Prof. Jimly Asshiddiqie menuliskan, “dalam bahasa Inggris dan Amerika tidak tersedia kata yang tepat untuk menggambarkan perbedaan antara konstitusi dan undang-undang dasar sebagaimana perbedaan antara kedua pengerian ini dalam bahasa Jerman, Belanda, Prancis dan negara-negara eropa kontinental lainnya.” Maka dapatlah ditarik suatu klausul bahwa kemunculan rumusan definisi konstitusi dalam ruang sempit dan luas merupakan salahsatu impact dari paradigma kehukuman bangsa civil law dan common law.
Sementara Carl Schmitt memberikan rumusan yang lebih kompleks dalam pendefinisian konstitusi dengan jalan klasifikasi (pembagian). Menurutnya, pemaknaan konstitusi dapat dibagi dalam empat kotom dasar yang dua dari kotom tersebut terbagi lagi menjadi empat dan dua klas baru. Secara konkret, pembagiannya meliputi, konstitusi dalam arti absolut sebagai cermin de reele machtsfactoren, konstitusi dalam arti absolut sebagai vorm der vormen, konstitusi dalam arti absolut sebagai factor integratie, konstitusi dalam arti absolut sebagai norm der normen, konstitusi dalam arti relatif sebagai konstitusi dalam arti formil, konstitusi dalam arti relatif sebagai tuntutan segolongan borjuis, konstitusi dalam arti positif, dan konstitusi dalam arti ideal.
Maka, kembali dalam konteks Indonesia kita dipertemukan bahwa dogma kodifikasi yang menyebabkan kelahiran UUD NRI 1945 bukanlah sesuatu yang mutlak. Pemahaman para ahli mengenai konstitusi telah membawa kita pada persepsi bahwa pada intinya konstitusi tertulis hanyalah satu dari aksidensi konstitusi itu sendiri. Sementara esensinya tetaplah sebagai dasar untuk percabangan produk hukum yang selanjutnya.
B. Sifat Konstitusi
Formil dan materiil
Formil berarti tertulis sementara materiil dilihat dari segi isinya berisikan hal-hal bersifat dasar pokok bagi rakyat dan negara.
Rigid dan flexibel
Rigid berarti kaku sulit untuk mengadakan perubahan sebagaimana disebutkan oleh KC Wheare
Menurut James Bryce, ciri flexibel :
a. Elastis
b. Diumumkan dan diubah sama dengan undang-undang.
Tertulis dan tidak tertulis
C. Tujuan Konstitusi
Secara umum, hukum telah dimaknai sebagai produk yang mengusung tiga tujuan utama, keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Maka, konstitusi yang merupakan bagian pokok dari hukum itu juga memiliki tujuan yang sama. Perhubungan semacam ini juga terterapkan dengan pandangan beberapa sarjana yang merumuskan tujuan negara, yaitu negara konstitusional sebab negara merupakan perwujudan aplikasi rumus konstitusi.
E. Kasus Koalisi
Koalisi merupakan kata umum untuk menjelaskan suatu unitas yang terikat. Koalisi yang dimaksud disini adalah persatuan atau perikatan partai politik dalam ketatanegaraan RI secara positif. Secara umum, penggolongan partai politik saat ini dapat dibagi dua, yakni partai koalisi kabinet pemerintahan dan partai oposisi yang tidak duduk dalam eksekutif.
Bukan samasekali naif jika dikatakan bahwa politik merupakan akaran dari prosesi ketatanegaraan ini. Bahkan dalam suatu model ilustrasi, politik adalah daging yang membalut segala praktek HTN, HAN dan lainnya. Koalisi merupakan salahsatu konsekuensi sistem presidensial multipartai yang kini dibumikan di Republik Indonesia. Tak ada yang salah dengan koalisi. Sebab pasal 6A UUD 1945 telah mengisyaratkan kebolehannya dengan redaksi yang amat ramping, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”
Namun kembali pada konteks pencapaian tujuan negara konstitusional Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, koalisi telah menimbulkan semacam gejolak di kalangan elite politisi. Koalisi telah dirujuk sebagai benda berinti loyalitas yang tanpa inti tak ada lagi. Koalisi telah di anggap membuka sendiri kebusukan catur perpolitikan. Hingga wacana penerbitan UU koalisi pun merebak di media. Jafar Hafsah, Ketua Fraksi Demokrat menganggap pembelotan yang dilakukan kader mitra koalisinya pada rapat pemutusan angket mafia hukum adalah salahsatu kasus utama penyebab perlunya penerbitan UU koalisi tersebut.
Alasan itu kami kira tak ada sangkut pautnya samasekali dengan faktor yuridis, sosiologis dan filosofis hukum yang seharusnya mendasari setiap pembuatan produk hukum formil. Maka akanah konstitusional penerbitan UU koalisi tersebut?
Pada dasarnya ketika kembali pada kajian formil, UU di bawah UUD NRI 1945 haruslah merupakan proyek mandat langsung dari poin perundang-undangan di atasnya. Lalu dalam kajian materiil, hukum haruslah memenuhi landasan tujuan bagi kehadirannya, seperti yang sudah diketengahkan, setidaknya memenuhi tiga unsur tujuan hukum.Sementara alasan pembuatan UU Koalisi ini samasekali tak ada sangkut pautnya dengan faktor yuridis, sosiologis dan filosofis hukum yang seharusnya mendasari setiap pembuatan produk hukum formil.
F. Konklusi
Tinjauan Positif dalam pasal 6A UUD NRI 1945 jelas-jelas menggunakan redaksi lugas, bahwa koalisi (gabungan partai) hanyalah tergariskan untuk mengajukan dan memenangkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, bukan “memenangkan” arah kepemerintahan ke arah suatu rujukan ikatan koalisi tertentu.
Pertimbangan lain yang menjadikan terbitan UU Koalisi ini sah konstitusional antara lain, asas rechmatig dalam kajian HAN yang mengatakan bahwa semua putusan kepemerintahan (eksekutif) dianggap benar sejauh tak diputus inskonstitusional di muka pengadilan Mahkamah Konstitusi. Juga, adanya legitimasi umum atas independensi legislator negeri (DPR RI) sebagai lembaga simbol demokrasi nasinal. Namun secara positif pula, dapatlah kita tarik pernyataan-pernyataan yang mengemukakan pentingnya UU ini hanya sebatas alasan-alasan keterbutuhan politis dimana loyalitas mitra koalisi diformilkan.
Maka, dalam perspektif hukum progresif (constituendum), keberadaan UU Koalisi tidak akan terlegitimasi konstitusional. Pertama, konstitusi tertulis mensaratkan kebolehan koalisi hanya dalam ruang politik pemilihan kepala negara, bukan ruang politik mekanisme pelaksanaan amanat rakyat sebagai 'pemerintahan yang baik'. Kedua, hukum akan dibuat mengikuti mula keterbutuhannya, sehingga keterbutuhan pemerintah sebagai organis politis akan memberi efek indikasi abusement of power di kemudian hari. Ketiga, koalisi yang dimaksudkan dalam pewacanaan penerbitan UU Koalisi tersebut samasaja meletakkan negara secara sia-sia pada satu ikatan eksklusif organis politis tertentu, yang demikian tak pernah dicatat sejarah nasional Indonesia dan dunia sebagai karangan indah. Konsep check-balance tidak akan berjalan dan orang-orang di luar lingkaran akan tertandaskan.
G. Daftar Bacaan
Asshiddiqie, Prof. Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. 2009.
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
UU no 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
nasional.kompas.com/read/2011/03/14/16471646/Demokrat.Sebut.PDI-P.Anggota.Koalisi
www.antaranews.com/berita/247931/bambang-soesatyo-gagasan-uu-koalisi-menyesatkan
nasional.kompas.com/read/2011/02/27/18075796/Demokrat.Seharusnya.Dibuat.UU.Koalisi
nasional.kompas.com/read/2011/02/28/1307019/UU.Koalisi.Cermin.Kekhawatiran.Demokrat
www.detiknews.com/read/2011/02/27/130256/1580346/10/perlu-uu-koalisi-untuk-membangun-koalisi-yang-stabil
dll
Acute
Embunan dinding hatiku perlahan luruh. Seakan terjebak dalam ruang jendela kaca yang terbuka, yang kau lihat di kedalamannya hanya memantulkan kerlipan panas menyilaukan. Lalu aku disana, di ruang jendela kaca yang terbuka.
Seakan kau menutupnya seraya tersenyum culas, kau katakan, "tunggu."
Ya, tega benar dirimu itu.
Dan aku gila. Bisa jadi gantungan hias lapangan bola di sudut matamu. Hijaukah?
Pernah kumasuki ilusi yang ini sebelumnya. Ketika katanya, "you, are, you"
Dan aku munafik. Terayunkan puisi obsesi yang ditelan hijab fakta dirimu. Seringnya kugenggam erat tanganmu, seringnya aku tahu, bahwa aku tak perlu memberitahumu. Bahwa aku kalut. Bahwa aku, disengat putus asaku dalam bingkisan salut.
Dan aku, ya, dan aku kini jatuh berdebam di tanah merah. Tanah yang kataku, sempurna. Tanah yang kataku, nada. Tanah yang kataku, ya, kini kataku, hanya kata.
Kata-kata murahan dari hinaan orang yang berlari dari keterusirannya. Kata-kata sampahan dari sentrisme otak paling terbelakang yang mencari labuhan kepergiannya. Kata-kata buangan dari jiwa yang sakit tanpa obat mencari kejauhan belantaranya.
Dan aku berbeda. Ya, kaupun tahu bahwa dia juga berbeda.
Beda-beda hantuan semu belaka. Beda-beda keruh cairan kosong semata. Beda-beda anyiran selimut dingin malam serasah!
Berdecit, derum hatiku. Mengikis jadi selembar logam baja. Keras.
Lalu aku menatapmu, menusukkan pedang-pedang paling tajam dari mataku.
Dan aku ingin perang. Melawan pedang-pedang paling tajam dari mataku.
Tolong aku, maafkanlah !
Seakan kau menutupnya seraya tersenyum culas, kau katakan, "tunggu."
Ya, tega benar dirimu itu.
Dan aku gila. Bisa jadi gantungan hias lapangan bola di sudut matamu. Hijaukah?
Pernah kumasuki ilusi yang ini sebelumnya. Ketika katanya, "you, are, you"
Dan aku munafik. Terayunkan puisi obsesi yang ditelan hijab fakta dirimu. Seringnya kugenggam erat tanganmu, seringnya aku tahu, bahwa aku tak perlu memberitahumu. Bahwa aku kalut. Bahwa aku, disengat putus asaku dalam bingkisan salut.
Dan aku, ya, dan aku kini jatuh berdebam di tanah merah. Tanah yang kataku, sempurna. Tanah yang kataku, nada. Tanah yang kataku, ya, kini kataku, hanya kata.
Kata-kata murahan dari hinaan orang yang berlari dari keterusirannya. Kata-kata sampahan dari sentrisme otak paling terbelakang yang mencari labuhan kepergiannya. Kata-kata buangan dari jiwa yang sakit tanpa obat mencari kejauhan belantaranya.
Dan aku berbeda. Ya, kaupun tahu bahwa dia juga berbeda.
Beda-beda hantuan semu belaka. Beda-beda keruh cairan kosong semata. Beda-beda anyiran selimut dingin malam serasah!
Berdecit, derum hatiku. Mengikis jadi selembar logam baja. Keras.
Lalu aku menatapmu, menusukkan pedang-pedang paling tajam dari mataku.
Dan aku ingin perang. Melawan pedang-pedang paling tajam dari mataku.
Tolong aku, maafkanlah !
Subscribe to:
Posts (Atom)