Friday, March 29, 2013

Bandung..

Tujuh gelombang demokrastisasi dunia pada perempat akhir abad 20

Thomas Carothers, The Ends Of The Transition Paradigm, Journal Of Democracy Vol 13 No 1 Yr 2002, The John Hopkins University Press :

1) the fall of right-wing authoritarian regimes in Southern Europe in the mid-1970s; 
2) the replacement of military dictatorships by elected civilian governments across Latin America from the late 1970s through the late 1980s; 
3) the decline of authoritarian rule in parts of East and South Asia starting in the mid-1980s; 
4) the collapse of communist regimes in Eastern Europe at the end of the 1980s; 
5) the breakup of the Soviet Union and the establishment of 15 post-Soviet republics in 1991; 
6) the decline of one-party regimes in many parts of sub-Saharan Africa in the first half of the 1990s; and 
7) a weak but recognizable liberalizing trend in some Middle Eastern countries in the 1990s.

-->
1) Jatuhnya tangan kanan rezim otoriter di Eropa Selatan dalam pertengahan 1970an
2) Pergantian diktator militer dengan pemerintahan melalui pemilihan sipil di sepanjang Amerika Latin mulai dari akhir 1970an sampai akhir 1980an
3) Penolakan terhadap UU otoritarian di bagian Timur dan Selatan Asia mulai pertengan 1980an
4) Runtuhnya rezim komunis di Eropa Timur di akhir 1980an
5) Hancurnya (retaknya) Uni Soviet dan pemapanan 15 republik pasca-Soviet pada 1991
6) Penolakan terhadap rezim satu partai di banyak bagian sub-saharan Afrika di awal pertengahan 1990an
7) lemah namun terterimanya tren liberalisasi di beberapa negara-negara Timur Tengah pada 1990an

Pemikiran mengenai demokrasi dalam pra wacana ilmiah telah dimulai dalam istilah-istilah kontrak sosial baik dalam tulisan Hobbes, Leviathan (1651), John Locke, Two Treaties Of Government (1690), dan Jacques Rosseau Du contract social ou Principes du droit politique (1762). Sementara dalam dinamika praktik ketatanegaraan kelahiran konstitusi civil people setidaknya termaktub dalam keberadaan Piagam Madinah (622 M), The Glorious Revolution (1688), dst..

Memulangkan kembali makna demokrasi kepada tribulasi dan peruntukan pewacanaannya maka yang kita dapatkan adalah suatu inkoherenitas faktual antara paham demokratisasi dan konstitusionalisme. Padanan demokrasi dan konstitusi utamanya berjalan di dua arah yang berbeda yang tidak harus tercitra dengan sempurna sebagaimana para ahli hukum tatanegara postmodernisme bercerita - bahwa demokrasi berisi supremasi konstitusi.


Bandung

keberadaan elite dalam setiap struktur kemasyarakatan adalah sebuah hal yang tidak dapat dipungkiri.. dalam setiap level kuasa, pengaturan, dan pembacaan peta posisi.. ketika disepakati konsep negara modern, konstitusional - demokratis.. setidaknya garis batas penyelenggaraan negara terdiri atas tiga hal : pembatasan dan pembagian kamar kekuasaan, jaminan ham, dan supremasi konstitusi.. *apaansih*

ini adalah segelintir garis yang membeku di otak saya, berkutat dengan 13 mosi yang masing-masing memiliki probabilitas 1 : (3 x 13) = 1/39..

derivasi teori elite --> interest, konflik dan social act
demokrasi perwakilan bukan-demokrasi-sesungguhnya (pseudemocracy)

Tuesday, March 26, 2013

Judex Factie


Kusadari bahwa ia, ternyata sebuah kebohongan yang akan mewujudkan dirinya dalam kebohongan yang selanjutnya. Seterusnya seperti itu, sampai habis tersakiti, menyakiti, mendapatkan adzab yang sepantasnya. Bahwa itulah kerendahan sampai ke akar-akarnya. Bahwa itulah kehinaan sampai ke ujung jari-jari kukunya. Tidak akan sudi menemuinya lagi.
            Aku tak pernah tahu sebelumnya bahwa perhubungan aku dan dirinya ternyata juga penuh dengan intrik. Bahwa ‘perspective’ itu secara massif juga menjajari ketidakmampuanku dan ketidakmampuanmu menjadikan kenyataan sebagai guru yang berharga. Bukan tentang masa lalu tentu saja. Bukan tentangmu juga. Bahwa betapa ilusi itu jadi motion kebohonganmu yang paling canggih. Aku sekedar. Terkesima saja.
            Orang-orang berkata bahwa sebagian dari orang-orang memang memiliki nasib yang menyedihkan, terpaksa kerdil karena dirinya sendiri sebagai seseorang. Berkubang di noda lumpur dosa-dosanya sendiri. Tenggelam, mati, lalu hidup kembali, mati lagi, hidup hati, dimatikan.
Orang-orang yang seperti seseorang dari sebagian orang itu lalu seutuhnya memenuhi ritual pribadinya terhadap penghambaan kepada keterpurukan. Sementara itu lupa, sementara itu mencicipi sedikit dari yang selainnya. Memakan plafon dan dinding kanan-kirinya. Dijilat, sedikit, sedikit, sampai tak mampu lagi. Keropos gigi-gigi lalu benar-benar membeku jadi mumi. Diwariskan. Dilihat orang banyak, ah, sayang sekali, kata mereka, orang-orang dari sebagiannya seseorang.

            Aku tak berubah. Cuma baru tahu sebuah kebohongan besar. Bahwa ikatan antara aku dan dirinya rupanya Cuma sumbangsih perhelatan darah saja, bukan jiwa, bukan juga soal ini dan itu yang patut jadi soal-soal ikatan orang-orang banyak. Benar-benar butuh kelapangan hati.
            Habis kata-kata. Habis bicaranya.
            Habis nuansa. Habis percaya.
            Bukan imannya, tapi, sekedar. Sebentar saja. Menarik kembali tribulasi akaran perhubungannya. Tapi, sekedar. Sebentar saja. Melihat bahwa, aku adalah putaran diriku, diikat kuat pada tali yang amat kuat, bismillah. Dengan begitu, sisi baiknya, aku benar-benar tak perlu kembali ke rumah. Lupakan.
            Bukan tentangmu. Bukan tentang kau dan aku. Bukan tentang aku. Bukan tentang kita tentu saja. Dia tentu saja, sesuatu yang sengaja dikirimkan dalam tugas kebinasaan, sebagai cobaan, ujian, adzab disini. Sebab tak mungkin kerendahan akhlaq jadi rumus kedua yang beda factorial kali ini. Bahwa, sekedar. Mengilhami, bahwa, tak banyak yang bisa dilakukan manusia, bahwa, tak patut mematutkan diri jadi sejati, bahwa, melaluinya dengan kepicikan. Lebih ‘arus utama’. Lebih ‘sempurna’. Lebih ‘aku’. Rancu.

Sakit

Sakitnya, menusuki jantung ini
Melawan cinta yang ada di hati
Dee Lestari

Sesuatu yang selalu hadir dalam hidup kita adalah cinta, katanya, baik kau sadari atau tidak. Sehingga setiap kejadian hari ini, besok, kemarin dan seterusnya hanyalah sebuah perjalanan cinta. Kolam besar itu, setiap peluh, sakit dan rasa muak. Adalah bagian dari cinta. KasihNya.

Sesekali saya tahu bahwa rahiim itu begitu rumit untuk kucecap. Begitu berliku untuk kusadari. Sebab jika ada dan tidaknya masuk dalam tataran keyakinan. Maka menyadarinya adalah sebuah ketenangan. Bahwa ikhtiarku adalah untuk menguatkan kesadaranku. Menguatkan keimananku.

Bahwa Allah tak pernah meninggalkanku.

Kadang menjadi menyakitkan. Kadang berubah jadi hantu yang mengusir kesederhanaan. Prosesi. Faktor faktual memenangkan diri.

Ya, Allah, aku sesederhana cita-citaku, menghadap kembali kepadaMu.

Thursday, March 21, 2013

Korban Perkuliahan

Dimulai dari subuh yang seperti biasa - tragis. Dan jam-jam kuliah yang harus terabaikan secara biasa - tragis, Gue harus setuju, bahwa setiap perjuangan harus menuai pengorbanan - tragis. Entah lewat mana, untuk apa. Ini adalah sisa-sisa bagian dari hidup dan kehidupan. Bagaimana mempertahankannya, berpikir logis jauh - tragis. After all, ini halaman ppt yang gue capture, sebagai bagian presentasi yang failed secara tidak wajar. Aahahaa.. :)









Saturday, March 9, 2013

No Cure


Bahwa bersedih itu jauh lebih indah. Lebih khusyuk, lebih bersyukur. Bahwa ia Cuma sesaat saja. Kembali menyadari bahwa tak memiliki siapapun, apapun, karena tak mengenali mereka, Karena tak memiliki hak untuk marah pada siapapun, apapun. Untuk memulai kembali. Yang mati suri.

Membuat segala sesuatunya menjadi lebih bermakna. Mengumpulkan energy, membagi-bagi. Bercerita bahwa, hatiku jadi selembab kapas terbang, dihempas udara bermuatan liquid mikrotik, merasuki, hampir saja basah, tapi tidak. Lakukan saja, jangan terlalu dipikirkan, nasehatnya. No action talk only, kan. Haha iya, mungkin banyak benarnya.

Menuliskan, mencari-cari. Bertambah licik lalu menari-nari. Gila kesana kemari.

Memulai segalanya dengan lebih indah, mendekatkan diri kembali padaNya. Tak suka bergumul dengan manusia, cukup pusing mendengar celotehan mereka. Mungkin ada benarnya, aku tak patut dalam banyak hal, tak menyenangkan seperti mereka.

Berbusa-busa bicara soal pemikiran, ternyata tak mampu dicerna dalam akaran. Sampahan.

Wednesday, March 6, 2013

Full Leaving

Well, there's so many things we have to tell the world about.
While the human being turn to some 'egalite' mainstream or whatever, people keeping their ear to hear anything and open their eyes to found everything.
For me, the most to tell is, Islam.
So just see.

Everybody lived the world just like man-kind do. So that the history tell us the cause and many phrase of 'in the first of century' or whatever. I don't like such history that much. So, just listening the air swing, talk to the tree while we need to fly with dragon. :)

We just live on this accuracy setting on behalf of 'first' and 'end'. Then I thought, what a wasted us to think
around or think so deep about how much we make the world so complicated tends of tomorrow.

Whenever, Islam give me the best part of life. Then I'll try to live with it.
How could people lying about the history? How could people keep their minds close to the end of endless?
So that people tryin to make everything comfortable. Well, Islam was the natural reason about  how and why I trust my life, learn to live, full leaving. Alhamdulillah. :)

Saturday, March 2, 2013

Kolam Raksasa??

Biarkan gedung-gedung tinggi yang menjulang
Dan kerlap kerlip malam dirimu yang menjawab
(Resti Pratiwi)

Aku terpana oleh kata-kata, terkadang tersanjung, menjadi sedih, atau muncul kerinduan.
Sebab kata-kata adalah bagian dirimu yang paling bisa ku ingat. Sebab celotehanmu mampu bercokol lebih dalam dari warna suaramu. Retaknya renyah tawamu. Kata-katamu menjadi lebih syahdu dalam suatu waktu, membuatku rindu.

Hilang bicara, hilang kata-kata.
Tapi, Kata-kata adalah semu sementara pemaknaanlah yang sesungguhnya, kata Rumi.
Dan, Cinta saling bicara dengan bahasa Rahasia, tambahnya. 

Maka sesekali kupikir.
Aku adalah orang yang sekonyol itu. Sekonyol semacam keruh hati.
Semacam busuk perasaan. Semacamnya.

Manipulatif.

Maka sesekali kupikir.
Bukan kau yang tak mampu mengerti. Tapi bias frekuensi hati. Hingga tak sampai. Hingga menggantung semampai. Tinggi, menyakiti.

Di depanku ada sebuah kolam raksasa, katamu. Dalam mimpi.
Sebenarnya telah lama ada.
Tapi terlalu biru untuk ku sebrangi.
Terlalu luas untuk ku arungi.
Membawa perahu untuk menyebranginya, iya, untuk bersamamu? Itu hanya kolam saja, terlalu berlebihan
Aku mencari cara. Mencari waktu dan logikanya.
Agar kolam raksasa itu jadi sederhana.
Sesederhana bahasa rahasia cinta.

Tersanjung di mimpi sendiri. Otak gilaku bekerja di kedalaman neuron, menemukan kata-katanya sendiri. Membuat narasi bodohnya sendiri. Dia bukan aku. Siapa? Aku menyebrangi kolam besar untuk apa? Atau siapa menyebranginya untukku? Pelis.

Sekonyol semacam kekonyolan semacam itu. Ya, kata-kata. Sekedar luaran dari sederetan buku-buku yang menjadi friksi-friksi pengetahuan. Meracau, mengganggu hidupku.