Thursday, November 29, 2012

SEMANGAT ^-^

Bertubi-tubi datang menghampiri. Mungkin karena gelas yang kosong atau mimpi-mimpi yang menghantui. Ah, jadi takut untuk tidur. Perlu diterapi atau diebrikan obat penenang depresi.

Trauma. Trauma karena lemahnya iman. Ya, ini soal hakekat, substansi katanya.

Bukan itu, bukan begitu maksudnya. Bukan benteng atau sakit karena diterobos.
Malu karena disalahpahami tapi juga tak punya kata-kata untuk membuat bayanat panjang lebar.

Bukan berarti tidak setuju atau mendadak gengsi. Tapi, tapi sekedar kaget. Manusiawi bukan. Berharap dan kecewa pada diri sendiri.

Sebab ketika orang lain melakukan sesuatu. Saya tidak mampu.
Berlari kesana kemari dan akhirnya cuma bertemu Abid lagi.

Bukan Pidato

Aku tahu bahwa untuk saling mencintai kita harus saling mengagumi. Entahlah, bahwa setiap kali orang terpesona denganmu itu sama artinya iya atau tidak. Tapi aku, iya. Bagiku ini juga yang menjadi sebab kau tak banyak mencintai. Bahwa bagimu, sama saja. Aku atau yang lainnya.

Termenung. Makan roti keju sambil main harvest moon.

Suatu hari kau harus benar-benar terkagum-kagum. Bukan karena shirah atau tulisannya tapi dirinya. Bukan sekedar tahu ilmunya. Tapi harus dipaksakan.

Ngomong apaan.

Mungkin saat ini sunia baik-baik saja. Tapi nanti, tidak lagi. Bertemu dan ditemui. Baik sengaja ataupun tidak. Bukan substansi lagi. Ini soal menerobos, melihat sesuatu dengan sempurna.

Tidak ada yang sempurna. Apa yang harus diterobos?

Penyakitmu. Tidak perlu buat timbangan atau tabel. Allah yang menjamin segala sesuatunya ada baik dan buruk. Bukan kamu. Supaya semua orang dapat dengan mudah masuk. Supaya semua orang tidak perlu penasaran. Kasian.

Siapa yang dikasihanin?

Ya, anti lah! Masa mereka? haha..

Renyah


Friday, November 23, 2012

Ilalang

Sebab tulisanku tak lagi berharga.
Sayap ilalang. Sayap terbang tanpa kekuatan.
Sayap ilalang. Ilalang terbang tanpa arahan.
Sayap ilalang. Terbang. Angkasa pudar meracau sendirian.

Ini tentang sayap ilalangku.
Dijadikannya sayap ilalang sungguhan.
Gila durjana. Mati durhaka sampai ke akar-akarnya.
Aku tak terpesona tapi jatuh tanpa makna. Ke tanah.

Tentang sayap ilalangku.
Dijadikannya sayap ilalang sungguhan.

Sebab tulisanku tak lagi berharga.
Putih ilalang. Putih merona tanpa warna.
Putih ilalang. Ilalang merona tanpa kecendrungan apa-apa.
Putih ilalang. Noda. Kecil menghilang meracau sendirian.

Ini tentang putih ilalangku.
Dijadikannya putih ilalang sungguhan.
Mesra. Lembutan asa menarik segalanya tanpa permisi.
Aku tersihir setiap kali hampir menyihir kembali

Pergi, pergi ke lain ruang dan waktu.

Tuesday, November 13, 2012

Reasonable touch


                Kadang kita tak pernah tahu mengapa suatu kejadian konyol terjadi tepat di depan kedua mata kita. Sama halnya seperti saat ini. Seketika saja saat aku membuka mata dan seluruhnya berwarna putih. Seakan tanpa dimensi, tak melayang, tak terbang tak juga berpijak di lantai. Aku mendefinisi sesuatu yang indefinites, keberadaan dalam ketiadaan dan perwujudan tanpa perasaan. Aku samasekali tidak meracau karena kebingungan, tak juga ketakutan, tidak senang juga tidak berpemikiran. Aku bukan aku yang melihat luaranku, luaran dari injeksi lingkungan, aku benar-benar melihat diriku di kejauhan.           
Anakku, seketika saja benakku memanggil instalasi warasku untuk kembali dalam tubuh yang tak terbang dan tak melayang itu. Satu kali saja, satu kali saja aku ingin kembali untuk bertemu anakku.
xxxxx
                “Apa yang biasa kau sebut sebagai cinta? Apakah itu berdebarnya jantungmu atau rasa kasih dalam kegiatan social? Bagiku cintaku adalah kamu. Anakku.” Ujarnya setengah meracau.
                Matanya masih terkatup berat, alir infuse masih gencar melewati demarkasi darah dan cairan tubuhnya. Aku tekapar dalam dudukku. Betapa aku jadi tersangka paling bersalah, hampir diseret di meja pidana. Aku Cuma seorang mahasiswi yang bahkan tak pernah tertarik untuk berpikir apa itu cinta sebenarnya. Mendengar istilah itu malah membuatku jadi ingin tertawa, tak perlu tahu apa itu, tema di setiap drama.
                Aku suka berkata-kata rumit. Ya, sejujurnya bukan karena aku suka. Tapi karena seperti itulah, kau akan segera tahu jika kedua orangtuamu tidak berkewarganegaraan sama dan memiliki mental buku tebal yang super gila. Satu istilah kajian, dua istilah dan seterusnya, menumpuk jadi theoritical assumption yang membuatku sedari kecil jauh dari kehidupan nyata. Bahwa air mengalir dengan sifat begini dan  begitu tak sempat membuatku berpikir sesederhana, air di rumahku berwarna merah muda karena wadahnya. Aku kehilangan kreativitas sejak batita dan gigiku tidak menggigit selain yang bertuliskan “boleh digigit”. Gila. Hidup yang sia-sia.
                Sejak kapan aku peduli dengan ibuku?
                Pertanyaan semacam itu jadi membuatku lebih galau lagi. Tahun depan aku akan lulus dari fakultas hukum lalu kuliah keluar negeri. Mungkin ke Kanada atau bisa juga ke Amerika. Aku tak terlalu suka orang-orang Asia. Munafik, kebanyakan budaya.
                Orang sepertiku, pantasnya dihukum gantung saja. Tidak berguna. Tidak bermoral. Kehilangan akal sehat dan yang paling penting tidak berbakti pada orangtua.
                Pernahkah kalian tahu bahwa satu dosa akan berlanjut pada dosa lainnya? Dosa besar yang berlanjut pada dosa besar lagi? Itu semacam simultansi balasan perbuatanmu. Jauh di dalam diriku, aku tak tahu jati diriku, kehabisan kepercayaan, lupa bagaimana rasanya mampu melakukan sesuatu.
                Dosa yang pertama karena tak bersyukur dengan setting hidupku, berlanjut jadi dosa memusuhi dan dimusuhi teman-teman sekolah dasar. Berlanjut jadi dosa ketersingkiran karena menyingkirkan diri sendiri. Jadi dosa yang lebih besar lagi, mengatakan ini dan itu, tidak sopan terhadap orangtua, bersikap egois dan mahir menggunakan pembelaan dosa. Itu kulminasinya. Mahir menggunakan pembelaan dosa di hadapan orang lain, poros dosa yang paling berdosa. Aku Cuma seorang pendosa. Jadi monster konyol yang berlagak tahu segalanya. Haha.
                Keberadaan orang lain di dunia ini, bagiku sangat mengganggu. Aku tak suka berhadapan dengan mereka. Tidak tertarik untuk bersahabat, sekedar berpikir untuk mengambil keuntungan lewat profesionalitas dan kemapanan kerja. Mereka begitu mengganggu. Termasuk denganmu, berurusan denganmu hanya memperkuat kehinaanku saja. Satu pertemuan berlanjut dengan pertemuan lainnya. Kita tak perlu rela mati untuk bertemu. Sebab selalu akan ada pertemuan setiap hari. Ini setting kehidupan modern. Maka bagiku, ada baiknya untuk rela mati agar tak bertemu.
                Aku bukanlah orang yang dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat. Tulisan ini dan itu. Pemikiran ini dan itu. Siapakah yang membutuhkan sesuatu yang tidak kontekstual? Aku Cuma rubah yang mengkhianati keterbelakanganku sendiri. Berlagak tahu segalanya yang tak pernah ku sentuh bagian terdalamnya, pemikiran mereka tentangku. Aku cukup menganggu bukan?
                Aku ingin punya sesuatu yang dapat dibanggakan. Mengerjakan sesuatu dengan benar. Tak perlu pujian, biasa saja. Bahwa aku dapat melakukannya. Entah, aku rindu ibuku, aku tak pernah dibiarkan mengerjakan apapun di sisinya. Supaya tak ada orang yang tahu bahwa aku Cuma bisa berpikir dan membaca buku saja. Aku rindu ibuku, setidaknya setelah aku berlari kesana kemari dan tak menemukan yang selainnya.
xxxxx
                Jalan raya kota malang searah memberiku inspirasi soal keterbelakanganku. Bahwa aku tidak mampu berkerjasama atau jadi pimpinan, jadi yang dipimpin? Asal dari ketidakbecusanku membangun kompetensi diri. Aku tak bertemu orang kecuali mengecewakan mereka. Ya, bertemu mereka semakin mengukuhkan kehinaanku saja.
                Aku suka bertengkar, tidak penurut, berkata-kata menyakitkan. Ah, buruk.
                Tidak ada masalah yang terlalu besar untuk dipecahkan bukan? Pasti ada jalan, dimanapun itu. Kita hanya perlu mencari peruntungan, semacam itu. Kata ayahku.
                Tidak, aku sekedar ingat kejadian beberapa tahun lalu, di kelas bahasa Indonesia ketika aku SMA. Masing-masing dari kami mengerjakan sebuah esai. Lalu datanglah hari penilaian, dan seorang anak dipanggil untuk membacakan karyanya, sebuah narasi tentang pentingnya membaca buku yang ditransliterasi jadi vitamin pikiran. Sederhana, menarik. Aku tidak.
                Di belakang itu, usai jam pelajaran, guruku mengajakku bicara secara pribadi, katanya, “Nak, ini tulisan kamu beneran?”
                “Iya bu, coba aja ibu cari di google, itu ada di blog saya sejak 3 bulan lalu.”
                “Selamat, nilai kamu tertinggi di kelas, saya berikan, 98” ujarnya sambil tersenyum berbinar
                “Bukannya Hadi yang nilainya tertinggi? Tadi ibu bilang gitu,”
                “Bukan, saya hanya berpikir bahwa akan sia-sia membacakan ini di kelas, saya rasa tidak akan ada yang mengerti. Mungkin kamu satu-satunya anak SMA yang pernah membaca naskah Shakespare dan memperhatikan pemikiran Schumann. Saya membutuhkan waktu 3 jam untuk benar-benar memahaminya, mungkin karena saya sudah tua juga, hha. Realis, romantic? Aliran seni, kamu terlalu berlebihan. Tapi itu jenius.”
                Seperti virus masyarakat, jenius tapi berlebihan, tidak akan ada yang mengerti, jadi alasan pembohongan. Jiwaku mati seketika itu juga.
                Tamat.
xxxxx
                Belum tamat.
                Sebab aku belum wafat dan tidak akan bunuh diri.
                Kita bicara tentang hal lain saja. Lain kali.

Sunday, November 11, 2012

Sebuah Pidato

Sebab malam kemarin seorang sahabat kembali mengingatkanku soal kesombongan. Tiba-tiba saja. Mimpiku malam ini seluruhnya full episode tentang sidang dan hari itu.

Ya, ini tentang kesombongan, juga tentang pidato panjang lebar dari abangku. Sore, di sebuah ruang sidang di Ciputat. Setelah beberapa paman dan kakek berumur 35 - 70 tahun menghampiriku dan mengucapkan, "barakallahu.." sambil tersenyum dan berlalu.
Abangku satu-satunya, berdiri dari kursinya yang di ujung meja di seberangku. "Barakallahu," katanya, lalu mengambil posisi duduk di sisi kananku. Dan aku, tak pernah menyela bicaranya, bukankah itu luarbiasa?
Katanya,

Apa manuver selanjutnya ibu pimpinan sidang? (menyindir) Apakah tidak sebaiknya kita putar kembali nalar dan berkeputusan ulang? Ini bukan hanya karena anti jadi pembicara termuda di agenda internasionalnya Al azhar minggu lalu atau karena IQ anti dua kali lipat dari kami disini kan?
Siapa juga orang yang mampu untuk tidak sombong. Empatbelas tahun dan hafidzoh, cumlaude di sidang fikrah dan punya orangtua yang bukan orang biasa. Ya, siapa juga yang mampu untuk tidak sombong. Paling dicintai sekaligus didengarkan kata-katanya. Siapa yang mampu untuk tidak sombong? Jadi adik kesayangan, selalu mampu mengulang notulensi dengan error yang paling minim di antara kami? Siapa yang mampu?
Abang kira orang sepertimu tidak mampu kan?

Sarkas. Beberapa wajah berpaling ke arah kami. Sembari katanya, "hmm, lagi dimarahin lagi,".
Jembatan, sandaran dan arahan. Masih tentang kesombongan dan pidato panjang lebar abangku satu-satunya.

Dalam beberapa kasus seorang muslim tidak perlu tahu banyak hal tentang keimanan. Untuk beriman. Lain kali, ia tak perlu tahu banyak fiqih untuk mengerti, tentang syar'i. Banyak orang yang tak banyak mengetahui agama, tapi membelanya. Bahkan Musa tak diperbolehkan bertanya, pada Harun gurunya. Bukankah itu istimewa?
Lalu kenapa seorang anak disini, berlagak tahu tentang segalanya? Bersikeras tahu sebelum memegangnya? Tidak ada lagikah nalar tsiqoh dalam Qur'an yang dihafalkannya?!

Nadanya meninggi dan aku pura-pura tak tahu ekspresi wajahnya. Menakutkan. Sebab orang seperti itu, ketika marah mengutip AlQur'an dan saat bernada tinggi, merendahkan orang dengan ruhiy, tanpa tendensi. Aku ingin jadi seperti abangku. Punya mental seperti itu, tulus dan tanpa topeng. Cerdas tanpa harus tes IQ per enam bulan. Kedua orangtuanya baik, setiap hari ada sarapan bersama dan gelak tawa penuh hikmah, keluarga.

Kesombongan itu membakar kayu sampai jadi debu. Hilang segala cerdas dan ketekunan.
Tidak perlu kemampuan unuk jadi sombong, cuma perlu sedikit hasutan setan, kepada orang yang dibutakan penglihatannya. Menolak kebenaran, merendahkan orang.
Terkadang melihat nyamuk sebagai belalai gajah atau leher jerapah. Kadang melihat kegagalan sebagai ketidakpatuhan orang.. Anti bukan tuhan.

Gila. Masih sakit hati sebenarnya. Tapi ingatan seperti ini mungkin hanya tiba-tiba ada di pagi ini. Gajah dan Jerapah. Itu bagian lucu. Aku tertawa kecil, meremehkan analoginya yang kacau. Ia juga berpaling ke belakang, mungkin tertawa juga. Tudingannya jadi semakin menusuk walaupun tidak menyakitkan.

Beberapa ustadz kami dan musyrifahku menganggap kami punya banyak kemiripan. Kecuali satu hal itu, miliknya, kekacauan analogi. Dan satu hal lagi, milikku, tingkah kekanakan. Gaya bahasa, intonasi suara, permainan logika, puisi favorit, model tulisan, kesukaan makanan, orientasi obrolan, pandangan shirah dan fikrah, hafalan, ibadah harian, persis. Kami selevel tapi bedanya, ia lebih tua 4 tahun. -.-"

Karena sombong itu berasal dari hati yang sakit. Tidak perlu banyak hal hebat untuk sombong, sekedar lupa bahwa adik akan terkalahkan dengan orang lain, bahwa setiap orang memiliki keistimewaan. Mungkin disanalah awal hasutan setan. Untuk mendengarkan, untuk tidak mengacuhkan. Bicaralah atau diam.
Suatu hari ketika saya tidak ada lagi, anti akan banyak terkalahkan, oleh kesombongan adik sendiri. Karena adik begitu rumit dan anti tidak mampu menganggap orang lain dengan lebih dan lebih lagi. Sebelum itu terjadi, mungkin ini terakhir kalinya ada nasehat seperti ini. 

Karena itu memang nasehat terakhir. :)

Friday, November 9, 2012

Tanpa dengannya

Kepemimpinan itu apa? Di atas dan di bawah sama saja kah? Tentu tidak, bukan?
Ini adalah sebuah tulisan lawas yang dengan pede-nya pernah saya tampilkan dalam suatu focus group disussion.

Sesungguhnya segala sesuatu itu pastilah bergerak dengan satu harmoni tertentu. Selayaknya pandangan nakhkoda ke arah barat, harmoni laut terbaca walaupun tak terlihat dasarnya. Maka memimpin adalah tentang memahami, mengenali, menguasai ilmu dan mengambil keputusan.
                Adanya jiwa kepemimpinan pada seseorang selanjutnya akan menjadikannya berkualitas berbeda. Ia yang berjiwa kepemimpinan mampu membuat simpul pikirnya dalam setiap perbuatannya. Seorang pemimpin bukan selalu pasti berdiri sebagai pucuk pimpinan. Ia mungkin saja ada di barisan manajerial, level koordinasi maupun pengarah dan pelaksana taktis. Namun yang pasti seorang pemimpin sejatinya ada dalam kesadaran visi. Ia mampu dipimpin dan memimpin orang lain. Sebab baginya pengejawantahan dirinya dalam suatu komunitas bukanlah tentang berdiri paling tinggi di antara mereka, namun menjadi yang paling bermanfaat di setiap tempat.
                Fungsi kepemimpinan dewasa ini semakin minim teraktualisasi dalam banyak lini yang kita jumpai. Hal ini ditandai dengan maraknya aksi inkonsistensi kebijakan yang dilakukan banyak stakeholder negeri ini. Ambilah contoh dalam skema pelaksanaan pengiriman TKI. Kantor imigrasi, kantor PJTKI maupun ‘distributor’ TKI di daerah-daerah, bersama-sama kehilangan jati diri demi produk kartal semata. Atau ambilah satu kasus penyelewengan dana umat yang anyir di banyak media massa, bulog gate, korupsi century, skandal BI, manipulasi DPR soal BBM, warna-warna politik transaksional berbasis kedudukan, dst. Hal ini tentu saja, menjadi sederetan kasus yang dalam keyakinan publik, memamerkan aksi bunuh diri sebuah negeri yang tanpa aplikasi idealitas sebuah kepemimpinan.
                Maka berbicara kepemimpinan adalah berbicara tentang sebuah vision. Pemimpin ialah yang dapat melihat konteks kasus dalam particular yang seiring pembelajaran termapankan secara holistik. Maka ia adalah seorang pembelajar sejati. Sebab vision, penglihatan dan kepahamannya atas segala sesuatu itu menjadi hal yang begitu berharga. Ia adalah seorang pembelajar sejati yang haus ilmu dalam banyak hal. Ia berbicara tentang arah gerak dan konsepsi kebijakan. Ia selalu memiliki pandangan mengenai putusan-putusan pribadinya. Tidak mengekor ataupun mengikuti selain berdasarkan keyakinan visi.
                Berbicara kepemimpinan maka juga bicara tentang melakukan banyak hal. Pemimpin adalah mereka yang senantiasa menanggung pekerjaan-pekerjaan dan pertanggungjawaban yang paling berat. Maka barangsiapa mengambil dirinya sebagai pemimpin, bersiaplah jadi yang paling sedikit tidur dan tertawa. Bersiaplah menjadi yang terdepan dalam menghadapi masalah. Dan bersiaplah menjadi yang terakhir bersenang-senang dengan hasilnya. Menjadi pemimpin adalah sebuah koneksi riil dalam sebuah ruang pertanggungjawaban dalam banyak hal yang telah, tengah dan akan dilakukan.
                Tapi siapapun yang undur diri dari sebuah proyek kepemimpinan, maka ia telah keluar dari fitrahnya, dari peruntukan kehidupannya. Sebab kepemimpinan ini telah utuh terserahkan pada segolongan makhluk yang bernama manusia. Kita dengan akal dan kebijaksanaan adalah suatu entitasme yang terlanjur harus memimpin. Inilah akaran nalarnya. Siapkah kita mundur ke belakang peradaban dan membiarkan dunia dipimpin kera atau sejenis tumbuhan cerdas?     Maka kepemimpinan adalah juga sebuah tugas pembenahan.
                Kita kini sama tahu, bahwa tiada langkah lagi selain mempersiapkan diri untuk mematangkan kepemimpinan diri. Tiada alasan untuk mundur sebab tiada yang dapat menggantikan satupun di antara kita. Kepemimpinan itu, jiwa yang mengisi rongga-rongga dada, jiwa yang tak membiarkan seorang insan terpuruk dalam keterbelakangan dan kemiskinan kepribadian. Ia adalah jiwa yang mengisi rongga dada yang menjadikan nyala kebijakannya sebagai penerangan bagi orang sekitarnya dan bahkan seluruh dunia. Tidak ada yang diharapkannya kecuali keuntungan yang banyak akibat perbuatan baiknya, keuntungan yang ia-pun tak akan mampu membuat draft-nya.
                PEMIMPIN ITU ADALAH KAU!

SALAM SATU JIWA PARA PEMIMPIN BANGSA !!!

Jujur saja. Menyaksikan fakultas hitam merah putih dijejali anti-teori. Membuat saya harus kembali memaknai estabhlishment sebuah makna kepemimpinan. Bukan hanya sekedar posisi tapi juga soal ketercukupan aktualisasi diri.

Saya, berpikiran bahwa seorang pimpinan bukan lagi orang perlu difasilitasi. Ia adalah jembatan, sandaran sekaligus arahan. Saya, beranggapan bahwa teori demokrasi hanya jalan menuju kepemimpinan yang representatif. Sisanya tadi itu, jembatan, sandaran, arahan.

Ia tak perlu banyak menggapai penghargaan lagi. Ia bukanlah lagi pucuk yang disirami lagi. Ibarat tanaman, rimbunan daunnya menyerahkan air ke bawah tanpa tampungan, disiram, menyirami.

Tapi ternyata saya insyaf bahwa tak ada daun paling atas sama seperti awan yang tak berujung. Atau mungkin justru perspektif saya yang barusan tadi justru salah samasekali.

Bahwa pimpinan itu, entah ia dipilih atau tidak bukan hakikinya jadi jembatan atau sandaran atau arahan. Tapi pemersatu bagian-bagian. Sebab tanpa dengannya-lah kita tercerai berai. Sebab tanpa dengannyalah kita telah berpisah jalan.

Mungkin di atas, mungkin di bawah. Payung atau bahkan tampahan. Hujan atau bahkan gemuruh. Berkelindan. Setiap dari kita, pemimpin bukan?

Tapi bukan lazim pemimpin dipimpin oleh yang dipimpinnya. Dipimpin atau memimpin, kontekstual. Bukan sekedar rumputan atau kelereng putaran. Beda rasa beda nuansa. Beda kata beda orangnya. Tetaplah senantiasa bersama dengannya.