Tuesday, August 28, 2012

THE GAP between Us

Sebenarnya tidak ada kata terlambat untuk berubah. Yang ada cuma terlalu terlambat. Sama saja, benar atau tidak. Yang beda, salah dan kelirunya. Tidak ada kata terlalu. Kecuali yang satu itu.
Dunia ini dikelilingi hal-hal lucu. Kenapa gajah bisa punya belalai panjang sementara jerapah hanya punya leher yang panjang. Asal mereka sama. Afrika, katanya. Hutan, spesifiknya. Yang ada datarannya, tambahannya. Savana? Semacam definisinya.
Tidak ada kata terlambat untuk berubah. Kata Darwin. Yang ada cuma terlalu terlambat. Ketika gajah dan jerapah sama benarnya. Maka yang beda adalah kesalahan dan kekeliruan kata savana yang mendefinisikan asal mereka.
Berulang terus, maka dunia ini akan selalu lucu dalam pandanganmu.

Sebenarnya hukum sosial itu hukum alam juga. Sebab kehidupan sosial itupun ada dalam suatu dimensi alamiah. Peradaban memegang tribulasinya dari per-alamian kesosialannya. Bangunan kemanusiaan itu cuma doktrin palsu perpanjangan logika alamiah.
Dunia ini dihibur oleh hal-hal membingungkan. Kenapa bahasa di dunia ada sekian juta sementara strukturasi organ manusia itu-itu saja. Kelahiran mereka sama. Dari ibu mereka, katanya. Orang tua mereka yang perempuan, spesifiknya. Ya, rahim masing-masing ibu mereka, tambahannya. Tangisan? Semacam definisinya.
Sebenarnya hukum sosial itu hukum alam juga. Kata Kelsen. Sebab kehidupan sosial itupun ada dalam suatu dimensi alamiah. Ketika manusia beda bahasa sebagai tribulasi sosialnya. Maka perpanjangan logika alamiah memang benar-benar asli adanya.
Luarbiasa, maka dunia ini akan selalu menghiburmu dengan setumpukan kebingungan.

Sebenarnya tidak ada yang terlalu keliru untuk terlambat. Baik mengenai beda jerapah maupun gajah. Baik mengenai kebingungan Kelsen soal pemurnian yang tanpa obat. Gila. Mati rasa.

Baik mengenai beda savana dan asal dataran. Baik mengenai beda tangisan dan kelahiran. Semua orang belum terlambat untuk keliru. Keliru soal hal lucu dan membingungkan. Keliru soal perhubungan keanehan dan fluktuasi kebatinannya saat menanggapi anehnya. Itu hal berbeda. Tidak ada kata terlalu. Kecuali yang satu itu.

Baik Darwin maupun Kelsen. Mungkin juga jadi definisi yang terlalu. Terlalu tidak ada kata terlalu. Kecuali yang satu itu.

Thursday, August 16, 2012

Belasungkawa Pion Kaca


Oleh : Mira Fajriyah
         
Rumah ini kembali sepi. Aku tak pernah tahu sebelumnya, bahwa kesunyian yang seperti ini akan jadi sebuah pil pahit yang tak kusukai juga. Biasanya aku suka, berdua dengan diriku, memperhatikan bunga yang ditanam di taman halaman depan, memasak pudding dan ikan laut kukus kesukaanku, ya, masakan lainnya juga. Biasanya aku suka, berdua dengan diriku, menuliskan segala keresahanku di bait-bait puisi yang tak mungkin dimengerti orang lain – kalau saja ada orang lain itu. Lalu di sore dan malam harinya, menonton televisi dan mengerjakan tugas sekolahku, sesekali main game, juga menjahili beberapa anak menyebalkan di kelas lewat sms kalengan, ya, lalu tidur. Habis hidupku seharian dalam kesunyian, berduaan dengan diriku.
            Aku suka menulis. Entah, mungkin segala stimulus theoretical assumption yang selalu kudengar dari diskusi ayah ibuku terlalu menggunung di pelataran simpul kimia otakku. Aku suka menulis. Menulis apa saja. Seperti saat ini.
Tapi seperti yang kukatakan sebelumnya, kali ini kesepian ini begitu menjijikkan. Membuatku mual dan berharap segalanya cepat berakhir. Tanpa pertolongan juga tanpa pena yang tiba-tiba bisa bicara. Seakan segalanya serba timpang, aku tak suka lagi berdua dengan diriku. Aku yang ini, yang tak suka dengan diriku, seakan jadi dua sisian yang tak saling berdampingan, dua pintu yang tak saling membuka. Bungkam seribu bahasa.
------------------
Beberapa hari lalu, teman ibuku datang di ruang tamu ini. Ia membawa serta dua anaknya yang menjijikkan, berumur lima dan empat tahun. Kedua anaknya itu kurasa sepasang anak perempuan yang mengidap sakit gila, menggelesorkan diri di karpet ruang tamu, lalu meraung-raung meminta dibelikan es krim. Dua-duanya, anak perempuan bau ingus yang mengidap kegilaan akut. Lalu ibuku dengan senyum tertahan yang kebingungan, Cuma bisa kelu menanggapinya. Juga temannya yang tak mampu menangani kedua anak busuknya. Aku menggelengkan kepala, masuk kamar dan menulis sebuah kalimat di sticky notes layar komputerku, anak setan juga ikut turun ke dunia bersama moyang mereka, abadi sampai neraka.
Baiklah, anggaplah kini aku tak lagi sendiri. Sebab kau telah dengan sabar menekuri kalimatku. Kau, lagi-lagi dengan sabar menyusun reaksi kimia di pelataran sinaps otakmu untuk merelakan beberapa informasi sampah dalam tulisanku ini, masuk dalam memori bawah sadarmu – yang sewaktu-waktu bisa saja keluar dan mengacaukan hidupmu. Bahwa kita kini tak dengan diriku yang tak kusukai atau dengan dirimu yang tak pernah kukenali.
Singkat cerita, aku tidur lagi siang itu. Lalu sorenya kudengar pintu kamarku diketuk perlahan. Membangunkanku yang lumayan sibuk dengan pembenahan instalasi alam warasku pasca mimpi di kedalaman jaringan neuron. Aku sempoyongan, perlahan kubuka pintu dan kudapati ibuku tersenyum simpul satu-satu senti seperti biasa. Membelai kepalaku. Ah, mengganggu saja.
Tapi ternyata aku salah. Kali ini beliau tak hanya sekedar menggangguku. Tapi untuk ke sekian kalinya akan melumat-habiskan hidup harianku. Katanya, seorang psikolog sudah kembali datang dengan setumpukan aplikasi tes IQ. Katanya, ini jadwalnya, jadwal enam bulananku, jadwal yang tak pernah kubuatkan lingkaran merah di kalender atau ku ingat setiap kali datang temponya. Aku mual, dengan segala ketidakwarasan ini.
------------------
            Umurku sembilan tahun. Aku asli keturunan China. Keturunan otak jenius professor ekonomi sosialis di Tokyo. Umurku Sembilan tahun. Ibuku seorang pengusaha butik hebat. Ia mengambil doctoral bidang ekonominya di Canberra, bertemu ayahku lalu mereka menikah. Umurku sembilan tahun. Aku membaca surat cerai kedua orangtuaku. Saat itu umurku lima tahun, masih siswi kelas dua primary school. Umurku Sembilan tahun. Dan aku dianggap punya keterbelakangan mental.
            Bagi sebagian orang aku menggemaskan. Terutama bagi para tamu ibuku yang pecicilan mencari inspirasi dalam mempermudah bisnisnya. Bagi sebagian orang aku menyebalkan. Terutama bagi teman-teman sekelasku. Aku suka mengutuk mereka dengan ekspresi meyakinkan yang ku tiru di film-film fantasi. Aku suka menjahili mereka dengan sms kutukan dan melempari mereka dari belakang dengan pensil. Bagi sebagian orang aku amoral. Terutama bagi para guru di sekolahku. Aku sering keluar kelas ketika mereka menulis di papan. Aku sekali-dua kali ikut pelajaran jam olahraga dan kelas hobi, sisanya kutinggalkan. Bagi sebagian orang aku picik dan nakal. Aku sering ke perpustakaan dan memindah-mindahkan buku-buku yang tersusun rapi menurut skema kepustakaan. Aku beberapa kali membohongi guru BP dan menuduh temanku dengan berbagai alibi. Mereka tahu itu. Umurku hanya Sembilan tahun.
            Aku kelas enam SD dan dua bulan lagi tes nasionalku untuk keluar dari rutinitas sekolah dasar akan dilangsungkan. Ibuku bilang setelah lulus dengan nilai bagus, aku tak akan lagi dipaksa pergi ke sekolah. Aku akan menjadi dewasa dan aku akan punya lebih banyak hal menyenangkan. Ia hanya tahu umurku Sembilan tahun tapi tak tahu bahwa anak seumuranku tak bisa dibohongi dengan cara naïf macam itu. Semua orang tahu, sistem pendidikan menjijikkan ini mengharuskanku hadir dalam rutinitas belajar setidaknya sampai umurku Sembilan belas tahun. Tiga tahun SMP, tiga tahun SMA, empat tahun di perguruan tinggi. Masih jauh dan selama itu pula ibuku dan psikolog bodoh ini terus akan jadi momok yang menggelikan bagiku.
            Maka setumpukan buku kuisioner memalukan hadir di penglihatanku. Inilah masa-masa penjara itu. Kata Nizami penulis Persia kuno kisah Laila Majnun itu, lebih gila dari nuansa serigala padang pasir mengarungi penginderaanmu, merasuki khayalanmu tentang kecantikan duniawi, tapi itu semua bohong, kata-kata lukisan belaka. Aku mengantuk, memaksa tidur lagi.
Apa yang biasa kau pikirkan sebelum kau pergi dari rumah? Apa yang menurutmu biasanya dipikirkan anak umur Sembilan tahun sepertiku? Apakah kau pikir aku cuma suka dengan keterbatasan tinggi badanku ketika harus masuk wahana yang tak diperbolehkan selain untuk mereka yang di atas 100 sentimeter? Aku mengamuk. Di kediamanku. Menyelesaikan soal bau bangkai ini seraya memutar balik dan melurushadapkan pikirku tanpa pola tentang wahana halilintar dufan. Terus melakukannya sampai pukul delapan malam, lalu membuang pensil yang telah berjasa ikut serta dalam kegilaan ini, ke arah dapur sejauh 4 meter – dengan marah.
Mungkin seharusnya aku tak pernah dilahirkan saja. Mungkin seharusnya ayahku bukan orang luar Indonesia atau setidaknya Thionghoa Jakarta saja. Mungkin seharusnya ibuku tak perlu mengambil beasiswa doktoralnya waktu itu. Mungkin aku tak perlu dianggap sedikit lebih jenius dibandingkan teman sekelasku yang bukan anak profesor dan doktor ekonomi. Mungkin arena hidup ini memang berkelindan seperti yang dikatakan Tere Liye dalam Rembulan Tenggelam-nya. Rupanya aku benar butuh isian otak yang lebih bergizi lagi.
Agar hatiku lapang dan penuh bunga. Agar kebijaksanaan tumbuh dan kedewasaan mapan bercokol dalam setiap pertimbanganku. Agar aku tak perlu berharap jarum jam berputar ke belakang. Lalu ia berhenti pada masa ketika aku berumur tiga sampai lima tahun, sebelum hari kutemukan selembar akte pengadilan negeri di meja kerja ayahku. Ah, aku tak akan bicara seperti ini lagi.
Bukankah setiap orang berhak menjadikan dirinya sutradara dalam episode hidupnya? Tidak. Tentu saja. Kita hanyalah pion di atas papan takdir yang berkelindan. Inilah simfoninya.
Sama sepertimu, aku juga pion-pion itu. Di antara kita, ada pion kaca bersayap, kosong dan menyilaukan seraya terbang mengangkasa, melewati kotak-kotak hitam-putih. Di antara kita juga pion besi yang pejal, berat membawa dirinya, melewati satu demi satu perjalanan hitam-putih, teguh dan menyambut ketegaran di setiap persimpangan. Di antara kita juga ada pion air yang menguatkan, tembus cahaya dan tak pernah memakan yang lainnya, mengalir dan melewati batas-batas kecil. Di antara kita lebih banyaknya bukan pion kaca bersayap ataupun pion besi atau pion air. Kebanyakan kita tak terdefinisi dan mungkin saja irisan atau perpaduan dari variable pesona, ketegaran dan fleksibilitas. Kebanyakan kita tak tahu perkara pion-pion itu.
------------------
            Beberapa saluran televisi kabel cukup menarik bagiku. Aku suka discovery channel, BBC, dan tentu saja, nickelodeon. Aku tak suka film romance. Selain karena ibuku rajin berceramah soal virus sampahan dari konstruksi nalar film romance, aku memang tak mengerti alur logikanya. Sementara beberapa anak perempuan lain di kelasku memang gemar bicara soal film Spanyol yang baru-baru ini di tayangkan di saluran televisi swasta nasional. Aku samasekali tak kecewa, mereka tak tahu bahwa telah terjadi lonjakan statistic penduduk dunia, puisi Rendra dan Taufik Ismail, kekeringan di Afrika dan perang di kawasan Timur Tengah, bombardir AS atas Irak, atau tentang Patrick yang ternyata hanya disukai Gary berkat sepotong kue di kantong celananya. Kata ibuku, pengetahuan seperti itu lebih mapan dan lebih berguna daripada hafalan kisah cinta picisan.
            Aku jadi ingat. Beberapa tahun yang lalu aku sempat juga penasaran soal Romeo dan Juliet. Ibuku bilang itu pengetahuan orang dewasa. Tapi ayahku Cuma tertawa geli waktu itu, menggendongku, lalu ditanyainya aku, “darimana kau dapatkan informasi mahal semacam itu?”. Kulihat ibuku masam, seakan tahu ada hal menjengkelkan yang akan dihadapinya. Ya, setelah itu selama semingguan aku Cuma sibuk menghabiskan bacaan naskah drama shakespare 1778 dan kumpulan puisi Schumann yang diberikan ayahku. Sejak saat itu, aku tahu banyak mengenai “pengetahuan orang dewasa yang mahal itu” – sebuah simpulan yang ku-ambil dari definan kedua orangtuaku. Aku lumayan pintar untuk anak yang rata-rata lebih tua dua tahun dariku waktu itu, kata ayahku. Aku percaya saja, tak tahu itu pujian atau kebanggaannya atas diri pribadinya.
            Maka ketika seekor burung bersikeras mematuki jendela kaca kamarku, aku kembali terbangun dari lamunanku di meja belajar. Aku masih sendirian. Mengetahui bahwa aku kini tak suka berdua denganmu. Dengan tanpa diriku yang tak kusukai juga dirimu yang tak pernah ku kenali. Kita hentikan saja celotehan ini sampai disini. Aku masih menulis. Masih dengan pena yang tidak tiba-tiba bisa bicara.
            Ya, umurku Sembilan tahun. Tak bergerak dalam dinamisasi luaranku. Umurku sembilan tahun. Terlalu banyak berkata ‘aku’. Aku jadi potret penduduk ke-aku-anku. Dan aku sendiri, tak suka kesendirianku lagi. Umurku Sembilan tahun. Aku orang buangan dari perspektif diriku sendiri. Umurku Sembilan tahun. Dimarahi hati kecilku, memaksa burung merpati itu bicara padaku, mengertikah kau?

Monday, August 6, 2012

The Excuse


Tiba-tiba saja kita jadi serba salah, bukan hanya sekedar tentang memahami siapa tapi apa dan bagaimana, dimensi seperti apa dan presisi, proyeksi serta iluminasi yang bagaimana. Dulu suatu ketika pernah saya berdiskusi soal pemikiran hukum dasar. Sekitar agustus tahun 2011. Kita belajar norma. Ya, norma agama, susila, hukum, kebiasaan, adat, kesopanan, kepantasan, dsb. Seperti ceramah hukum lainnya, biasanya lecturer akan memperkenalkan semacam tangga norma yang intinya menempatkan norma hukum sebagai klausul akhir dari pemapanan norma. Dimulai dari norma agama, susila, kebiasaan kemudian hukum.
Saya samasekali tak keberatan. Pertama kali saya memang terprovokasi. Saya memiliki baground pemikiran islamis yang lumayan kental. Saya berasal dari latar kesejarahan hidup yang mengantarkan saya pada nadir takdir yang – Alhamdulillah – menempatkan saya sebagai pemikir beraliran religius islam. Wajar, mulanya saya tak terima dengan tipe penempatan norma agama sebagai norma pertama di tangga paling bawah deretan norm. Lalu seberkas kemudian, saya tahu, buatan paradigm yang seperti ini memang desain yang lumayan luxurious. Tapi luxuriusitasnya tetap tak menjamin validitasnya bukan? Ini teori yang berporos pada dua kotom klasif. Sifat mengatur dan asal muasalnya.
Tak ada urusan dengan pola konyol yang menempatkan asal ilahiah sebagai sesuatu yang sekedar menjadi pijakan yang ditinggalkan. Akhirnya saya serta merta mengganti judul “tangga norma” menjadi “proses pemapanan negosiasi norma dalam masyarakat” dalam catatan pribadi saya. Sebab memang, tak semua orang akan jadi muslim. Tapi adanya janji hudaibiyah adalah sebuah negosiasi yang muncul dari akhlaq qur’aniyyah. Itulah hukum, capaian negosiasi norma dalam masyarakat, tangga-tangga itu barulah dapat saya terima dalam konsepsi yang seperti ini. Hehehee..
Kembali dalam paragraph pertama kita sebelum saya menyentil kembali putaran neuron saya di paragraf 2 dan 3 tulisan ini, masalah utama yang begitu penting yang ingin saya sampaikan kali ini adalah mengenai poin kebingungan yang tersendiri, sebab ini bukan hanya sekedar tentang memahami siapa tapi apa dan bagaimana, dimensi seperti apa dan presisi, proyeksi serta iluminasi yang bagaimana. Kita ambil preparat tipis, sepotong kasus di atas, tangga norma. Pernahkah anda menemukan, bahwasanya kita seharusnya seringkali bingung dalam meletakkan setiap diagnosa dan faktor-faktornya.
Begini ceritanya, diskusi saya dalam ceramah pemikiran hukum dasar tersebut dalam perpanjangan terpaksa membuat saya memuntahkan sebuah pertanyaan, “apakah sifat mengatur dan asal muasal benar-benar factorial dan nama “norma” benar-benar definisi ?” Ya, pada akhirnya ruangan mengalami perubahan tensitas kemiringan, mengikuti lantunan “krik-krik-krik” yang menggemuruh, ini hanya semacam ilusi. *gaklucu* Intinya saya hanya satu-satunya orang yang mengerti maksud redaksi kalimat saya sendiri, dan berkat sebuah kekonyolan yang telah menjadi mental utama, saya-pun melanjutkan, “ketika anda sakit maag maka yang di maksud tentu kadar asam lambung yang tinggi bukan? Maag telah menjadi sebuah nama yang dipadankan dengan presisi kondisi tertentu, dimana kadar asam lambung tinggi entah bagaimana-pun penyebab dan komplikasinya.”
……………………….
Krik-krik-krik..
Dan saya kembali keluar ruangan dengan beberapa teman yang memegang bahu saya dari belakang seraya katanya, “apa mir, hubungannya sakit maag sama norma hokum?” Jawab saya simple saja, “saya anak fakultas hukum dan saya sempat sakit maag tapi bukan karena lambung saya bermasalah.”
???????????????
………………………
Perlahan, saya punya sebuah jargon atau semacam motto yang saya dapatkan dari kasus ini, “tanda Tanya anda adalah kebahagiaan bagi saya”. *tutupbuku,menghiburdiri*

Saturday, August 4, 2012

I'm sorry


Hmm… Hoi, assalamu’alaykum lo pasti lagi sibuk banget sekarang? Hoho gue juga sibuk, dan seperti biasa, gue lebih keren dari lo. Whehehee..
Lo inget ga? Ujub itu menolak kebenaran dan merendahkan manusia. Iya, gila banget, kejahatan itu asli emang parah abis. Mungkin gue tipe orang yang emang sering show up gitu, sering pake fi’il amr, udah gitu rada-rada seenaknya sendiri. Gue ga tau sih, kenapa tiba-tiba gue jadi sering mimpi buruk. Inti isi ceritanya sama, gue inget aja, kalo kejahatan ujub yang bagian merendahkan manusia itu secara ga jelas emang gue lakukan ke elo. Hoho…
Sori, abis waktu itu lo tiba-tiba aja jadi menyebalkan gitu, sumpah sok tau abis ! gue ga suka banget sama gaya lo, huft.. jangan-jangan gue dengki juga ya? Astaghfirullah -,-
            Tapi kita punya momen-momen positif juga kan? Hmmm yang waktu drama kelas xi misalnya? Hehe, itu doang ya? ^-^v
            Gue bingung juga sih, udah gitu kelas xii kita sekelas lagi –“ dan segala angkara murka gue terus berlanjut haha, walaupun nilai gue asli jelek banget. Tapi lo tetep baik kok, nanyain snmptn gue juga, hooho. Gue nggak ngerti, sih, waktu itu kan guru gue emang masih agak-agak liberal. Jadi ya, gue mangkel banget, gue nggak yakin sih lo ngerti apa nggak waktu gue cicitcuit panjang lebar soal kenapa gue nggak mau bareng elo dan harus masuk ke fakultas hukum. Gue berpendirian, dan gue udah pernah ikut2 asrama yang lo kabarin itu. Gue udah lulus dan punya semua kemampuan yang lo sebutin saat itu. Hmm.. dan setelah dua tahun ternyata pemikiran gue tambah mapan. Gue nggak kecewa sama pilihan gue yang sekarang. Tapi entah, gue kecewa, sekarang temen-temen gue disini, nggak ada yang sebaik elo gitu L Lo cerdas sebenernya, dari beberapa ide gila lo yang sempet gue dengar di syuro-syuro kita, lo lucu juga, hardworker pas memang udah punya cita-cita jelas. Orang kayak lo, jarang ditemui kan? Gue jadi mikir, orang dengan kapasitas kayak lo, harusnya gue baik-baikin dari dulu, supaya sekarang bias jadi temen gue. Yah, walaupun nggak sekeren Abid. Bisa-lah buat sekedar ngobrolin peta politik timur tengah sama pola tingkah perkebunan royal prince sultan ben abdul aziz. Whehehheee…
            Eh, ada lagi, lo inget gak? Waktu ulangan harian agama yang terakhir, gue dapet 94 paa berapaa gitu, haha, padahal nilai anak-anak sekelas pas-pasan semua, kebanyakannya remid, termasuk elooo :-p Gue merasa keren banget waktu itu, haha, parah banget, tapi seharian setelah itu gue merenung meenn.. Jangan-jangan gue kambuh lagi *danternyatabenar* masalahnya itu emang banyak banget hafalannya, masa gue bisa inget hal detail walaupun 10 menit sebelum ulangan. Itu sih, momen pertama gue mulai sadar kalo gue emang penyakitan gitu ke elo, yah, ujub yang tadi itu. Padahal, waktu itu yang muncul lagi aib gue, ckckck haha
            Gue merasa bersalah banget nih, ngga tau, tibatiba aja. Ah, gue inget banget tuh pas kelas xi lo naksir sama anak kelas x hohoho… secara tidak sengaja pandangan gue tambah zzz aja ke elo. Ni orang, sumpah najongin banget -,-
            Hmmm menulis hal nggak penting setelah bangun dari sakit dan menderita mimpi buruk, lumayan bikin gue bersemangat lagi, lumayan mengaktivasi neuron otak gue yang stuck mikirin amanah dakwah kampus, lumayan bikin banyak hal sekarang berseliweran menginspirasi dan harus gue tangkepin satu-satu lagi. J
            Kalo gue sempet dan lagi nggak gengsian, gue Cuma mau bilang, sori banget, gue khilaf ^^v.

- Brand new day -