Wednesday, April 25, 2012

PAMER !!!!!! #MUAL#

Konstitusionalitas UU no 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara dalam Perspektif Putusan Mahkamah Konstitusi No 143/PUU-VII/2009
               
               Perkembangan ekonomi Islam di Indonesia antara lain ditandai dengan munculnya Bank Muamalat Indonesia, sebagai bank yang beroperasi dengan sistem syariah pertama di Indonesia pada 1992.[1] Munculnya perbankan syariah di Indonesia merupakan suatu perwujudan dari permintaan masyarakat yang membutuhkan suatu sistem perbankan alternatif yang selain menyediakan jasa perbankan atau keuangan yang sehat, juga memenuhi prinsip-prinsip syariah.
                Setelah dikeluarkannya ketentuan perundang-undangan tersebut, sistem perbankan syariah sejak tahun 1998 menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Meningkatnya kesadaran beragama masyarakat dan kekhawatiran pola-pola perbankan yang konvensional termasuk kategori haram, membuat permintaan tersebut meningkat dari waktu ke waktu. Perkembangan ini tidak saja terjadi di tanah air, melainkan juga pada tingkat global. Hal inilah yang membuat banyak lembaga perbankan dunia yang membuat produk syariahnya, meskipun penduduk dimana perbankan tersebut berada, mayoritas bukan muslim. Hal ini terjadi karena potensi pasar mereka dari masyarakat yang beragama Islam cukup signifikan.                Bisnis di bidang syariah yang terbukti mampu meningkatkan profit perusahaan. Apalagi saat kenaikan harga minyak dunia, telah meningkatkan jumlah dana potensial di Timur Tengah yang membutuhkan media berupa lembaga keuangan untuk penempatan dana. Perkembangan ini bahkan akan terus berlanjut. Tahun 2010 diperkirakan asset perbankan syariah global akan menunjukkan peningkatan.  ternyata praktik-praktik dengan pola syariah ini lebih menguntungkan dan memberikan keuntungan ekonomi masyarakat. Perkembangan di bidang perbankan syariah ini, juga akan diikuti dengan perkembangan di bidang keuangan lainnya. Obligasi syariah (sukuk) telah menjadi primadona baru untuk menyerap likuiditas sekaligus sumber pendanaan baik perusahaan maupun pemerintah.
                Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat di bidang keuangan syariah ini tentu saja membuka peluang bagi Indonesia untuk juga ikut lebih aktif didalamnya. Pengalaman di masa krisis menunjukkan bahwa bank (dan lembaga keuangan) syariah terbukti mampu bertahan dari berbagai guncangan dan relatif tidak membutuhkan banyak bantuan pemerintah. Ini berarti bahwa upaya pengembangan lembaga keuangan syariah juga sekaligus akan membantu ketahanan perekonomian nasional. Untuk itu, harus didesain kebijakan pemerintah yang mendukung perkembangan dan pertumbuhan lembaga keuangan syariah.            Salah satu kebijakan pemerintah sebagai upaya strategis mengembangkan keuangan syariah dengan obligasi (sukuk) adalah UU no.19 tahun 2008 mengenai penerbitan Surat berharga syariah Negara (SBSN). yang melatar belakangi hadirnya sukuk sebagai salah satu instrumen dalam sistem keuangan Islam adalah ketentuan al-Quran dan al-Sunnah yang melarang riba, maysir, gharar, bertransaksi dengan kegiatan atau produk haram, serta terbebas dari unsur tadlis.
                Dengan Terbentuknya UU no. 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) tersebut, hendaknya bisa ditemukan pembangunan ekonomi yang semakin baik lagi. dimana tujuan UU no.19 tahun 2008 itu sendiri adalah (1) memperkuat dan meningkatkan peran sistem keuangan berbasis syariah di dalam negeri; (2) memperluas basis pembiayaan anggaran negara; (3) menciptakan benchmark instrumen keuangan syariah baik di pasar keuangan syariah domestik maupun internasional; (4) memperluas dan mendiversifikasi basis investor; (5) mengembangkan alternatif instrumen investasi baik bagi investor dalam negeri maupun luar negeri yang mencari instrumen keuangan berbasis syariah; dan (6) mendorong pertumbuhan pasar keuangan syariah di Indonesia.

A.     Substansi UU no 19 2008
                Analisis UU no 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara ini kami lakukan dengan membedah poin-poin utama dalam materi pengaturan yang tercantum di dalamnya. Untuk memudahkan kami merangkai logika terhadap kehendak UU tersebut, kami menggunakan statute approach yang berbasis anasir materiil, yakni abstraksi konsiderans, pemaparan objek UU, lembaga eksekutorial, perihal mekanisme dan prosedural, pihak-pihak, dan variabel.
1.      Konsiderans
Syariah dipersepsikan sebagai instrument khusus yang harus dioptimalkan pemerintah dalam rangka memajukan kesejahteraan umum. Hal ini juga bersinggungan langsung dengan strategi dan kebijakan pembangunan nasional serta pengembangan berbagai instrumen keuangan yang mampu memobilisasi dana publik secara luas. Pemerintah merasa perlu untuk mengatur keuangan syariah ini dalam satu lembaga UU tersendiri antara lain disebabkan keuangan syariah yang dianggap memiliki karakteristik tersendiri di samping peluang besarnya dalam memajukan perekonomian nasional yang belum ter-optimalisasi.
2.      Objek
                UU no 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara di antaranya mengatur mengenai Surat Berharga Syariah Negara atau yang disingkat SBSN seperti dalam pasal 1 bab 1 mengenai ketentuan umum. SBSN merupakan surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap Aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. SBSN ini sesuai dengan isi pasal selanjutnya dibagi menjadi enam yakni[2],
1.       SBSN Ijarah, yang diterbitkan berdasarkan Akad Ijarah;
Adalah suatu sertifikat yang memuat nama pemilik nya (investor) dan melambangkan kepemilikan terhadap aset yang bertujuan untuk disewakan, atau kepemilikikan manfaat dan kepemilikan jasa sesuai jumlah efek yang dibeli denagn harapan mendapatkan keuntungan dari hasil sewa  yang berhasil direalisasikan berdasar transaksi ijarah.
Ketentuan akad ijarah sebagai berikut:
·         Objeknaya dapat berupa barang (harta fisik yang bergerak, tak bergerah, harta perdagangan) maupun berupa jasa
·         Manfaat dari objek dan nilai manfaat tersebut diketahui dan disepakati oleh kedua belah pihak.
·         Ruang lingkup dan jangka waktu pemakaiannya harus dinyatakan secara spesifik.
·         Penyewa harus membagi hasil manfaat yang diperolehnya dalam bentuk imbalan atau sewa/upah
·         Pemakaian manfaat harus menjaga objek agar manfaat yang diberikan oleh objek tetap terjaga
·         Pembeli sewa haruslah pemilik mutlak.
      Secara teknis, obligasi ijarah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
ü  Investor dapat bertindak sebagai penyewa , sedangkan emiten dapat bertindak sebagai wakil investor.
ü  Setelah investor memperoleh hak sewa, maka investor menyewakan kembali objek sewa tersebut kepada emiten.
2.       SBSN Mudarabah, yang diterbitkan berdasarkan Akad Mudarabah;
Yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad Mudharabah di mana satu pihak menyediakan modal (rab al-maal) dan pihak lain menyediakan tenaga dan keahlian (mudharib), keuntungan dari kerjasama tersebut akan dibagi berdasarkan perbandingan yang telah disetujui sebelumnya. Kerugian yang timbul akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak yang menjadi penyedia modal.
3.       SBSN Musyarakah, yang diterbitkan berdasarkan Akad Musyarakah;
Adalah obligasi syariah yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad musyarakah di mana dua pihak atau lebih bekerja sama menggabungkan modal untuk pembangunan proyek baru, mengembangkan proyek baru, mengembangkan proyek yang telah ada atau membiayai kgiatan usaha.
4.       SBSN Istishna’, yang diterbitkan berdasarkan Akad Istishna’;
Yaitu Sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad Istisna’ di mana para pihak menyepakati jual-beli dalam rangka pembiayaan suatu proyek/barang. Adapun harga, waktu penyerahan, dan spesifikasi barang/proyek ditentukan terlebih dahulu berdasarkan kesepakatan.
5.       SBSN yang diterbitkan berdasarkan Akad lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; dan
6.       SBSN yang diterbitkan berdasarkan kombinasi dari dua atau lebih dari Akad sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf
                Pengeluaran SBSN dimaksudkan dalam rangka membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek negara. Dasar penerbitan SBSN yakni hanya pada Barang Milik Negara yang selanjutnya disebut sebagai Aset SBSN. Materi SBSN setidak-tidaknya terdiri atas ketentuan dan syarat yang mengatur, antara lain:
a.       penerbit;
b.      Nilai Nominal;
c.       tanggal penerbitan;
d.      tanggal jatuh tempo;
e.      tanggal pembayaran Imbalan;
f.        besaran atau nisbah Imbalan;
g.       frekuensi pembayaran Imbalan;
h.      cara perhitungan pembayaran Imbalan;
i.         jenis mata uang atau denominasi;
j.        jenis Barang Milik Negara yang dijadikan Aset SBSN;
k.       penggunaan ketentuan hukum yang berlaku;
l.          ketentuan tentang hak untuk membeli kembali SBSN sebelum jatuh tempo; dan
m.    ketentuan tentang pengalihan kepemilikan.
3.      Lembaga Eksekutorial
                          Perusahaan Penerbit SBSN yang didirikan pemerintah merupakan lembaga eksekutorial dalam pengejawantahan Surat Berharga Syariah Negara. Perusahaan ini dibuat berdasarkan UU SBSN yang artinya merupakan luaran organik dan strategis dalam merealisasikan SBSN. Perusahaan penerbit SBSN bertanggungjawab terhadap Menteri dan berkedudukan di wilayah NKRI. Perusahaan penerbit ini juga wajib memisahkan aset SBSN dari aset perusahaannya.
                          Selain Perusahaan penerbit, dikenal juga Wali amanat sebagai pihak lain yang ditunjuk pemerintah dalam hal SBSN dikeluarkan langsung oleh pemerintah. Wali amanat ini dalam pasal 15 UU no 19 tahun 2008 disebutkan memiliki tugas antara lain :
a.       melakukan perikatan dengan pihak lain untuk kepentingan pemegang SBSN;
b.      mengawasi aset SBSN untuk kepentingan pemegang SBSN; dan
c.       mewakili kepentingan lain pemegang SBSN, terkait dengan perikatan dalam rangka penerbitan SBSN.
                Rigitasi lebih lanjut mengenai Wali amanat dan Perusahaan Penerbit SBSN sebagai lembaga eksekutorial dari UU no 19 tahaun 2008 ini dapat dilihat dalam bab VI yang melingkupi lima pasal, yakni pasal 13 sampai pasal 17 mengenai Perusahaan Penerbit Surat Berharga Syariah Negara dan Wali Amanat.
4.      Mekanisme dan Prosedural
Pada dasarnya setiap kerangka hukum ekonomi syariah memiliki tiga prinsip dasar, yakni[3] :
1.       Tauhid, Prinsip ini merefleksikan bahwa penguasa dan pemilik tunggal atas jagad raya ini adalah Allah SWT.
2.       Khilafah, mempresentasikan bahwa manusia adalah khalifah atau wakil Allah di muka bumi ini dengan dianugerahi seperangkat potensi spiritual dan mental serta kelengkapan sumberdaya materi yang dapat digunakan untuk hidup dalam rangka menyebarkan misi hidupnya.
3.       ‘Adalah, merupakan bagian yang integral dengan tujuan syariah (maqasid al-Syariah). Konsekuensi dari prinsip Khilafah dan ‘Adalah menuntut bahwa semua sumberdaya yang merupakan amanah dari Allah harus digunakan untuk merefleksikan tujuan syariah antara lain yaitu; pemenuhan kebutuhan (need fullfillment), menghargai sumber pendapatan (recpectable source of earning), distribusi pendapatan dan kesejah-teraan yang merata (equitable distribution of income and wealth) serta stabilitas dan pertumbuhan (growth and stability).
                Turunan atas prinsip ini pula diadaptasi dalam penyelenggaraan mekanisme Surat Berharga Syariah Negara dalam Bab IV UU SBSN yang dimulai dari pasal 5 sampai pasal 9. Disebutkan dalam pasal 6 ayat (1) bahwa penerbitan SBSN dapat dilaksanakan secara langsung oleh Pemerintah atau melalui Perusahaan Penerbit SBSN. Selanjutnya dalam pasal 6 ayat (3) penerbitan SBSN yang dilakukan melalui Perusahaan Penerbit SBSN ditetapkan oleh Menteri Keuangan RI. Selain itu Menteri juga harus mendapatkan persetujuan DPR RI dalam pengesahan rancangan APBN. Sehingga titik poin penting dari penyelenggaraan putusan penerbitan SBSN ini antara lain terletak pada Menteri Keuangan RI yang menjadi pion bestuur, melalui perusahaan penerbit SBSN yang ditunjuk, dengan persetujuan DPR dan dalam hal terntu wajib berkoordinasi dengan Bank Indonesia[4].

B.     Dilematika Konstitusionalitas
                Dilematika konstitusionalitas UU no 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara atau yang lebih dikenal dengan UU SBSN pertama kali muncul ke permukaan ketika diajukannya judicial review UU SBSN ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 2 November 2009[5]. Pokok gejolak inskonstitusionalitas yang dirasakan oleh pemohon terletak di pasal 10 ayat (1) dan (2) huruf (a) dan (b) serta pasal 11 ayat (1) UU SBSN.
                Pasal 10 antara lain berbunyi,
1)      Barang Milik Negara dapat digunakan sebagai dasar penerbitan SBSN, yang untuk selanjutnya Barang Milik Negara dimaksud disebut sebagai Aset SBSN.
2)      Aset SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. tanah dan/atau bangunan; dan
b. selain tanah dan/atau bangunan.
                Sementara pasal 11 berbunyi,
                Penggunaan Barang Milik Negara sebagai Aset SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dilakukan Menteri dengan cara menjual atau menyewakan Hak Manfaat atas Barang Milik Negara atau cara lain yang sesuai dengan Akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN.
                Kedua pasal tersebut dianggap tidak sesuai dengan pasal 28 H yang menjabarkan bahwa negara menjamin setiap orang atas kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Juga dengan pasal 34 yang berbunyi, Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
                Keterangan DPR RI yang disampaikan oleh Adang Daradjatun meragukan legal standing para pemohon karena dianggap tidak memenuhi klausul dirugikan secara spesifik ataupun potensial. Selanjutnya DPR RI juga berpandangan bahwa[6] :
a.       bahwa konsep keuangan Islam secara bertahap mulai diterapkan beberapa negara Timur tengah pada periode tahun 1960-an yang terus berkembang dan diadopsi tidak hanya oleh negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah melainkan juga berbagai negara di kawasan Asia dan Eropa. Untuk mendukung perkembangan keuangan Islam tersebut telah didirikan berbagai lembaga keuangan syariah dan diterbitkan berbagai instrumen keuangan berbasis syariah.
b.      bahwa konsep keuangan Islam didasarkan prinsip moralitas dan keadilan, karena itu  instrumen keuangan Islam senantiasa selaras dan memenuhi prinsip-prinsip syariah yaitu antara lain transaksi yang dilakukan para pihak bersifat adil, halal, thaib, dan maslahat. Selain itu transaksi dalam keuangan Islam sesuai dengan syariah harus terbebas dari unsur riba,  yaitu unsur bunga, maisire yaitu unsur spekulasi, gharal yaitu unsur ketidakpastian. Karateristik lain dari instrumen keuangan syariah yaitu memerlukan adanya transaksi pendukung yang tata cara dan mekanismenya bersifat khusus dan berbeda dengan transaksi konvesional pada umumnya.
c.       bahwa secara filosofis, pengembangan instrumen yang berbasis syariah perlu segera dilaksanakan selain untuk mendukung pemanfaatan asset negara secara efisien dan untuk mendorong terciptanya sistem keuangan yang berbasis di dalam negeri juga untuk memperkuat basis sumber pembiayaan anggaran negara baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
d.      bahwa salah satu bentuk instrumen keuangan syariah yang telah banyak diterbitkan oleh korporasi maupun negara adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah atau dikenal secara internasional dengan istilah sukuk. Instrumen keuangan ini pada prinsipnya sama dengan surat berharga konvensional dengan perbedaan pokok antara lain berupa penggunaan konsep imbalan sebagai pengganti bunga, adanya suatu transaksi pendukung, atau sejumlah tertentu aset sebesar nilai nominal sukuk yang diterbitkan, dan adanya akad atau perjanjian antara pihak yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Aset yang dapat digunakan di dalam transaksi tersebut merupakan barang milik negara.
e.      bahwa secara sosiologis, pembiayaan keuangan negara melalui penerbitan surat berharga oleh pemerintah berupa sukuk negaramempunyai implikasi yang luas terhadap pemberdayaan masyarakat dalam proses pembangunan ekonomi antara lain melalui pencitraan, good governance di sektor publik. Dalam hal ini perdagangan sukuk di pasaran keuangan syariah akan memfasilitasi terselenggaranya pengawasan secara langsung oleh publik atas kebijaksanaan pemerintah di bidang ekonomi dan keuangan.
f.        bahwa secara yuridis, instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah mempunyai karateristik yang berbeda dengan instrumen keuangan konvensional, sehingga perlu pengelolaan dan pengaturan secara khusus, baik yang menyangkut instrumen maupun perangkat hukum yang diperlukan untuk mengatur surat berharga syariah negara.
g.       bahwa terkait dengan dalil Pemohon yang dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara khususnya Pasal 49 ayat (4) dan (5) serta Pasal 50 huruf d, DPR berpandangan bahwa perlu adanya pemahaman tentang kepemilikan atas hak manfaat dan juga kepemilikan hukum atas suatu aset yang dikenal dengan konsep trust. Hal tersebut mengingat pemindahtanganan barang milik negara dalam penerbitan SBSN bersifat khusus dan berbeda dengan proses pemindahtanganan barang milik negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan.
h.      bahwa dalam penerbitan SBSN, proses transaksi barang milik Negara tersebut adalah sebagai berikut, penjualan penyewaan BMN hanya atas hak manfaat BMN tidak disertai dengan pemindahan hak kepemilikan. Pemerintah akan menyewa kembali BMN dari special purpose vachel perusahaan penerbit, tidak terjadi pengalihan fisik BMN sehingga tidak mengganggu penyelenggaraan tugas pemerintahan, tidak terdapat permasalahan dari sisi akuntansi mengingat hak kepemilikan atas BMN tidak berpindah sehingga tetap on balance sheet. Pada saat jatuh tempo SBSN atau dalam hal terjadi devolved, {sic} aset SBSN akan tetap oleh dikuasai pemerintah karena dalam penerbitan SBSN ada dokumen purchase undertaking yaitu pemerintah wajib membeli kembali, membatalkan sewa atas aset SBSN dan dokumen sales undertaking yaitu SPV wajib menjual aset SBSN kepada pemerintah sebesar nilai nominal SBSN.
i.         bahwa hal tersebut juga sudah diuraikan dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) undang-undang a quo.
j.        bahwa mncermati dalil-dalil Pemohon menunjukkan bahwa Pemohon perlu memahami undang-undang a quo secara komprehensif dan tidak hanya memahami secara parsial atau sebagian sehingga menimbulkan pemahaman yang keliru terhadap pemahaman tentang penggunaan BMN serta aset SBSN, padahal dalam undang-undang a quo sudah diatur juga antisipasi apabila terjadi peristiwa devolved {sic} sebagaimana diatur dalam Pasal 12 undang-undang a quo yang memberi kewenangan kepada menteri selaku pemerintah untuk membeli kembali aset SBSN membatalkan akad sewa, dan mengakhiri akad penerbitan SBSN lainnya pada saat SBSN jatuh tempo.
k.       bahwa dalam rapat panitia kerja keempat tanggal 15 Maret 2008 terkait dengan aset SBSN, disetujui dalam rapat Panja bahwa terkait dengan penggunaan BMN dalam penerbitan SBSN hanya terbatas pada penggunaan hak manfaat bukan pemindahan hak kepemilikan. Hal ini terdapat dalam tanggapan-tanggapan fraksi di DPR.
               
                Sehingga di akhir putusannya MK menerima semua  keterangan pemerintah dan DPR RI dan menolak semua permohonan para pemohon.[7] Demikianlah pentas pengujian UU SBSN yang bermula dari pengajuan perkara pada 29 November 2009 hingga luaran Risalah sidang yang diluncurkan pada 16 Februari 2010. UU SBSN pada nyatanya divonis sesuai dengan arah konstitusionalitas UUD N RI 1945.




[1] Ekonomi Islam di Indonesia: Kontribusi dan Kebijakan Pemerintah bagi Pengembangannya. Prof. Dr. H. Edy Suandi Hamid, M.Ec. Di akses dari artikelkomplit2011.blogspot.com/2012/02/ekonomi-islam-di-indonesia-kontribusi.html  pada 25 April 2012.

[2] UU no 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara
[3] Makalah Sistem Ekonomi Islam. Dwi Utami handayani. file:///G:/MAKALAH%20SISTEM%20EKONOMI%20ISLAM_SYARIAH%E2%80%93Blog%20Ekonomi%20Syariah.htm. Di akses pada tanggal 25 April 2012.
[4] Undang-Undang no 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara
[5] Putusan MK no 143/PUU-VII/2009
[6] Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi Perkara No 143/PUU-VII/2009
[7] Putusan MK no 143/PUU-VII/2009