Sunday, February 26, 2012

Definan Langit



Oleh : alfajri

Definan kembali menuansa ketika dianggapnya bau jiwa cuma sekedar angka-angka dan kiasan belaka. Ah, klise katanya. Sementara jejaring fakta bertebaran dimana-mana. Tak bisa diraba-raba, dicari-cari pembenaran atasnya atau meneguk dialektika rasa yang tertumpah jadi semilir angkasa. Keterlaluan, bukan.
Dan ya, mari kita tundukan kepala dan berdoa, bahwasanya kekaburan makna di forum-forum kita sudah sepandangan dengan jalan berliku soal manis-manis pahitnya bumbu retorika. Cuma sekedarnya saja. Ini-itu tak terlalu banyak tanda tanya. Sekedarnya saja, kesana kemari Cuma bawa dua hitungan, satu dan nol, jadi tiga.
Sesungguhnya definan yang kembali menyeruak, menyerupai bilangan yang mendefinisi satuan definisi lainnya. Jadi kocar-kacir membentuk simpulan. Selanjutnya mati rasa jadi buaian di dalam rongrongan. Terlena ia, namun katanya, ah biasa saja. Luarbiasa, bukan.
Maka langit tak patut diseru untuk menjatuhkan hujan, pula logika tak patut diseru untuk menarik kebenaran. Maka daun tak patut diseru untuk meranumkan hijau,  pula sama, bulan tak perlu diseru untuk memancarkan lembutan. Sampai di hatinya, jauh dirasanya, definan yang lebih dari sekedar dua angka, satu dan nol, jadi tiga.

Sunday, February 5, 2012

Tercengang

Kumulai setiap goresan dengan satu kesakitan. Bahwasanya hitam yang mencintai putih adalah tanda telah menistainya pula. Ketika kumulai setiap goresan dengan penghabisan. Sebabnya tinta akan sirna usai dibenamkannya ke laksa cita dan akan patah batangan usai diserahkannya semua dayanya. Ya, aku memulainya, atas sebuah dilematika yang tak tergambarkan oleh pesona. Seketika itu merana, sebab goresan dengan penistaannya, meracau demi akaran logika bahwa ia juga jadi penghabisan permulaannya.

Entah, bening yang dirajut di sepersekian inchinya saat harus memilih dunia atau keutuhan dirinya. Entah, laut yang meringis di setiap pergerakannya saat harus bercita-cita mengenai tenang atau kematian pribadinya. Dan aku bungkam, menerima sakit dan penghabisan permulaaannya, di tiap selipan kata dan keragu-raguannya.

Sempurna, bukankah cemeti jadi alat untuk melarikan diri? Ketika sampai di hatinya, sampai jauh pergi fungsi presisi dari peruntukkannya. Sempurna, bukankah tujuan jadi alat untuk menyembunyikan hati? Ketika sampai di kepergiannya, menyalip silang dalam perlombaan putarnya dengan relevansi zaman. Ah, setia, rumusan macam apalagi dia?

Maka akhir yang mengagumkan jadi penerimaannya atas perujungan sakit dan penghabisannya, bukan?