Saturday, January 7, 2012

Catalog

oleh : Alfajri
“Setiap pergerakan jantung kita, pastilah dihitung sebagai materi pertanggungjawaban di yaumul akhir nanti.” Ujarnya fasih. Sementara aku masih meneruskan langkahku menemaninya bicara di sepanjang perjalanan kami menuju kantin. Mengangguk saja, itu sudah cukup untuk memastikan ia tetap stand by dengan seuntaian kalimat nasehatnya yang – sebenarnya – sudah cukup membuat telingaku resisten.
Tadi memang kelas agama Islam dan secara langsung, mata pelajaran itu memang selalu mengaktivasi segelontoran materi pesantrenan yang – mungkin – jadi konten utama syaraf-syaraf sinaps otaknya. Aku memang tak selalu tertarik dengan bahasan yang diterbitkan dari suara bersihnya yang teduh itu, tapi aku selalu suka membuntutinya seraya bertingkah high class sebagai satu-satunya anak perempuan yang bisa mendapat pengajaran langsung darinya. Hehe… Seakan aku anak paling berbakat di sekolah sehingga bisa berdekatan dengan anak 12 tahun sekeren dia.
Entahlah, atau mungkin aku memang hanya membohongi diri sendiri saja. Waktu itu umurku baru sepuluh tahun dan aku samasekali belum mengerti hal-hal seputar pubertas. Terlebih di latarbelakang lingkunganku yang tak pernah menyindir-nyindir soal ‘hal itu’. Aku waktu itu mungkin hanya sekedar masih terbius dengan kata friendship yang diucapkannya dua minggu sebelumnya. I just am thinking that he was the first ever after, yeah! Just like I said, finally, there’s somebody needs me to be his friend, hoaah J
Ya, tapi memang kuakui, aku sekedar suka membuntutinya begitu, selain materi pesantrenan gratis yang pasti kudapatkan, suaranya memang bagus untuk menyejukkan lapisan gendang telingaku yang mungkin sering meringis akibat suara teriakan mama dari lantai bawah waktu memanggilku sarapan atau suara Gerald Way yang sering kuputar volume maksimal di sound system kamarku. Ia begitu patut dirindukan, dan mengatakan itu membuatku ingat bahwa ia juga gemar mengatakan bahwa aku memang patut dirindukan. Waktu itu, waktu segalanya masih begitu permulaan.
Ia sangat menjaga batasan interaksinya dengan anak-anak perempuan di kelas atau bahkan seluruh anak perempuan di sekolah, di seluuuuuuuuuruh duniaaaaaaaaaaaa. Hmm… bukan mahram katanya. Tapi denganku? Lagi-lagi, aku memang masih berumur sepuluh tahun waktu itu dan tak mengerti benar adanya hal-hal semacam itu. Katanya, aku ini adiknya yang supercerdas. Heaah… sebenarnya aku tak terlalu suka dibilang cerdas tapi untuk sekedar membuatnya stand by tersenyum seperti itu, aku ikhlas-ikhlas saja-lah. Tak ada lagi yang begitu baik hati mengatakan friendship waktu kutanya dengan sinis yang niscaya ayahku-pun akan bergidik ngeri dan melakukan apapun yang kuperintahkan. Ya, lagi-lagi, he was the first ever after, and I believe he have something more than everyone having, inside his eyes, seems like a very-very gold bravo! I just tried.
Saat aku berumur limabelas tahun aku baru memahami apa yang sebenarnya dimiliki seorang ia yang begitu ‘perfect’ di mataku. Ia punya kekuatan ruhiyah. Iya, sebuah kekuatan ruh yang pastinya saat itu mengungguliku yang hanya lulusan boarding school katholik di pusat kota. Ia telah terdidik sebagai seorang hafidz qur’an dan berbicara lembut tanpa bising pengiringan nuansa yang memenjara – seperti yang kudengar dari selainnya selama ini.
Gila, aku baru mendapatkan jawabannya lima tahun sejak kutanyakan itu padanya. Sebuah jawaban dari pertanyaan lawas yang hanya dijawab senyum geli si narasumber.
“Bid, bid, kenapa ya aku nggak berani ngomelin kamu kayak aku ngomelin orang-orang di rumah dan kantor mama ku? Terus kenapa juga ya, kok aku jadi nggak bandel dan nurut aja waktu kamu suruh ini-itu?” begitu bodohnya aku bertanya di hadapan dua piring siomay di kantin sekolah kami waktu itu.
                Tapi ia memang bukan malaikat yang tak punya kekeliruan. Justru mengangkatku menjadi satu-satunya anak perempuan yang berani diajaknya makan bareng ke kantin, ngaji di kakeknya, main ke dufan, dibelikan apapun yang ku mau, membelaku di pertengkaran sepele – termasuk – mengajariku bermacam pemahaman keIslaman adalah sebuah investasi kesalahan fatalnya yang paling fatal. Sebab ketika kami sama-sama beranjak dari umur 12 dan 10 tahun itu, segalanya berubah dan tak lagi jadi senyaman sebelumnya.
Entah, aku memang masih juga tak banyak mengerti, tapi kepulangannya setelah dua tahun ke madinah dan tak menghubungiku sama sekali selama itu, sudah cukup menyentakku hingga ketar-ketir bukan karuan. Waktu itu aku masih juga belum dewasa – mungkin saat ini juga. Ia tentu saja sudah punya janggut tipis yang – katanya – memang sengaja dipeliharanya. Suaranya sudah tak lagi se-datar dulu dan aku jadi sedikit ngeri untuk sekedar menerima deringan namanya di layar handphoneku. Setelah tragedi mendatangi ibuku dan di tolak mentah-mentah (yaiyalah –“), ia malah mengatakan bahwa beberapa tahun lagi akan kembali mendatangi rumahku. Habis itu, terbang lagi ke madinah dan – untuk kedua kalinya – tak menghubungiku selama itu juga.
Ah, aku sakit bukan main. Dalam kurun dua bulan lebih mengonsumsi paracetamol dan antibiotic prasangka dokter – hingga ku pikir aku akan segera mati overdosis. Sampai-sampai ayahku yang sedingin itu terbang ke Indonesia sembari mengomeli ibuku, mengatakan bahwa ia tak becus mengurusku. Padahal, mereka berdua sama tak becusnya!
                Mungkin aku memang tak pantas juga mengatakannya. Dan mengatakan semuanya. Dengan sebuah benar yang sungguh sebenar-benarnya, ini mungkin memang sebuah jalinan cerita yang begitu banyak mendidikku hingga saat ini. Ya, dari boarding school katholik – yang walaupun aku selalu membuat keonaran dengan menanyakan hal-hal bodoh berbau kesangsian terhadap doktrin pastur disana – mungkin aku tak akan jadi diriku yang dapat menulis ini bila ia tak melakukan kekeliruan fatal itu. Atau bahkan Allah memang sengaja mengalirkan setting skenario berikut tindakan-tindakan penuh makna para aktor-aktornya, yang walaupun itu adalah sebuah kesalahan dalam muamalah hati. Ya, kembali pada Allah selalu jadi jawaban terangnya.
                Sementara kenyataan bahwa saat ini ia telah tiada dan tak akan datang ke rumahku lagi adalah sebuah pengajaran yang begitu berarti bagiku. Sebuah katalisasi diri yang memurnikan niat hijrahku selama ini, walaupun disorientasi itu baru saja kualami sejak latah ikutan puber bareng anak-anak sweet seventeen di kelas dua SMA waktu itu. Haha kukira aku baru saja memastikan bahwa aku memang belum lagi dewasa untuk ber-bijaksana ria.
                Bahwasanya ia pula pergi dengan sebuah rekahan senyum memesona yang begitu kukagumi. Pula atas kemantapan hatinya usai berdiskusi denganku. Pula atas kata-kata manis sebelum berangkatnya. Dan perjumpaan yang panjang di pembukaan 2010. Dan seorang bayi mungil yang diajarinya memanggilku amah. J
                Ya, Allah oleh sebab rahmatMu kami berIslam. Pula dengannya kami akan mati penuh kerinduan terhadap kampung bapak kami, ‘adam alaihis salam. Ya, Allah sungguh salam malaikat mengiring para syahid di surgaMu, maka sempurnakanlah kenikmatan syahidnya. Kenikmatan syahid yang merasuki relung-relung jantung kami, membuka peluang bagi kami untuk menjadikan untaian generasi syahid berikutnya. Berkahilah, sempurnakanlah. Bi idznillah yaa Rabb, aamiin insyaAllah.