Monday, October 24, 2011

Arogansi

"Sombong ialah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.."

Kali ini aku ingat Ibnu Mas'ud yang berdiri di hadapan khalayak lalu mengurai kelebihannya dalam pemahaman Alqur'an, beliau r.a mengurai bahwa tak ada satupun ayat yang turun yang tidak diketahuinya perihal siapa dan dimananya. Ibnu Mas'ud ra ialah salah satu dari sederetan shahabat brilian kala itu. Ia mengungkapkan sesuatu yang benar menurutnya tanpa tendensi untuk mengatasnamakan diri. Di akhir kalimatnya itu, ia katakan, "maka jika kuketahui ada yang lebih 'alim mengenai Kitabullah di suatu tempat yang dapat dijangkau oleh unta dan kendaraan, niscaya aku akan mendatanginya."

Ialah sebuah kerendahatian yang tanpa teori, meluncur dari sebuah kepahaman atas amal-amal maknawi.

Thursday, October 20, 2011

Perfection

Sudah lebih baik. Akan menjadi suatu hal yang lebih berharga bila kita menyadari bahwa kesempurnaan itu menghargai ketidaksempurnaan. Atau rupa-rupanya kau hanya perlu memahami bahwa dunia memang tak lebih dari sekedar gurauan belaka. Maka bila aku jadikan simpulan nalarnya pada fakta bahwa aku ingin sempurna, tentu aku telah keliru mengejar sesuatu yang tak pantas ku kejar.

Bahwasanya aku bukan liliput yang hidup di negeri jamur dan rerumputan. Bukan pula jangkrik yang mengais kotom klasif invertebrata, dianggap ia tak punya darah hanya karena cairan tubuhnya bukan berwarna merah. Bahwa aku bukan mereka yang menyongsong pagi dalam bacaan immoral soal penentangan patriarkhi. Aku sekedar akuisisi ekstase perimbangan hatiku.

Maka biarkan laut tetap menari dalam siklus gelombang pasang dan surutnya, agar seketika lumba-lumba yang muncul tenggelam tak takut akan pijaran lampu-lampu layar manusia. Agar nantinya tetap bersuara, menghidupi dirinya dalam asasi kepribadiannya. Bersyukur.

Atas nyala-nyala lilin di tengah gulita yang tak seberapa. Pula hati yang merana akibat perfeksionisme semata. Sehingga terbit matari dari barat ke timurnya, bukan angin yang jadi indikatorisasi arah hujan lembab dan kering. Di persetujuan pembacaan para ahli fisika dan metereologi, kita berserah pada dudukan ilmu yang tak sesempurna itu juga, kan.

Tuesday, October 11, 2011

What a great

Ada yang tahu gimana rasanya bisa bikin tulisan dengan sepenuh hati? Atau gimana rasanya menulis dengan segenap emosi? Satu lembar a4 margin standar. Sampai saat ini, definisi atas emosi atau hati, gue masih juga nggak ngerti. Ah, ya, gue suka berlagak nggak ngerti karena dengan begitu, orang-orang bakalan mau berdiskusi sama gue. Coba lihat, waktu itu kakak tingkat yang bener-bener gue harapkan, cuma senyum aja waktu gue jelasin esai 20 lembar itu. Gue jadi alay. Masa' curhat di blog? ah, gilani.

Waktu suatu ketika, beliau turun dari podium mewahnya (podium yang mau banget gue bawa pulang haha)
"Why'd you said something like that, Prof? Don't you see, everyone catch you as an arrogant symbol."
Lalu dijawabnya, "Tidak ada satupun bahasa yang merangkum semua pemaknaan, I."
Dan si penanya masih sembilan tahun waktu itu.

Sebuah prinsip yang entah, begitu dalam. Sebuah kalimat yang entah, begitu membekas. Suatu momen yang entah, begitu bersejarah. Dan ya, sebuah pengajaran yang begitu patut dirindukan.

Aku begitu bangga. Menyusupi sudut-sudut kepunyaan egosentrisku yang menyala-nyala. Aku bersyukur?

Maka doktrinasi itu jadi begitu menyesap selayaknya kerendahatian pancaran positif rela digantikan simbol elektron negatif di buku-buku fisika. Aku cuma menunggu hadirnya lagi. Saat seorang professor sedingin itu, secerdas itu, ya... se-elegan itu, se-kaku itu, se-cuek itu, perlahan terejawantahkan jadi diriku. Ah, iyakah?

Aku juga keras kepala. Aku juga keras kepala. Benar-benar gila keras kepalanya. Sepertinya.

Cerita

Dan dalam setiap degupan aku merayu angin untuk menerbangkan massa tubuhku ke purnama. Agar tergapaikan bintang-bintang yang jadi medium ketidakberdayaan harapan manusia. Agar terhanyutkan alir nuansa yang jadi perpecahan antara kuasa tangan dan kaki. Agar aku kembali.
Saat sinarannya tak lagi menemani dan aku jadi jalang yang menenun pukat sendiri. Diletuskan ke dalam-dalamnya lautan, mematikan. Diriku.

Jadi ceritanya aku. Jadi ceritanya kamu. Jadi ceritanya kita dan semua. Jadi bukan dia. Atau mereka. Di luar diriku dan kau. Di luar kita. Di luar diriku. Kau. Kau yang sejatinya bukan mereka pula bukan aku dan kita.

Sebab perpanjangan titian ada di benak masing-masingnya benda. Entah sampai atau tidak, diselipkan antara premis-premis paradoksal yang mengerikan. Malam ini, aku  memang bukan lagi yang seperti itu.
Sebab aku belum lagi dewasa, menjadikan segalanya serba bisa, padahal para cendikia benar nyata punya banyak keterbatasan juga. Apa jadinya dunia bila tanpa ulama' fiqh dan tulisan-tulisannya.

Monday, October 10, 2011

XXX

Oke, tiba-tiba gue nggak tahu apa yang telah dan harus gue lakukan. Gue butuh rumah, dad and mom, mau lari dari semuanya. Gue butuh abang, yang sekarang udah gak mungkin dihidupkan lagi. Gue butuh pergi. Tapi dalam satu perpanjangan logika akhirnya gue ngeh kalo gue cuma butuh lebih dekat lagi sama Allah. Ya, gue bener-bener futur.
Mulai dari berhadapan otak sama kakak tingkat paling konyol sedunia, kakak tingkat yang punya banyak intuisi politik, kakak tingkat yang meneduhkan, atau yang lagi sibuk BLF --"
Gue berasa ada di rumah memang, ya, gue coba menghibur diri sendiri aja lah. Kayak disana, disini juga gue ditarik-tarik dua kutub yang lagi-lagi berlawanan tapi dua-duanya benar, dan dua-duanya gue cintai. Jadi perlahan cinta bermain memang dengan tingkatannya, saat gue milih salah satunya, karena gue lebih sayang sama beberapa orang yang omongannya lebih dari sekedar 'itu-itu' aja. Gue stuck, bener-bener butuh baikan lagi sama tahajjud panjang dan bulan ramadhan.
Dan kefuturan yang melebaykan cabangnya di perkara kangen, benci, kecewa, terpana kebengongan, sakit-sakitan, jadi jilbaber super jorok berantakan, deadline kajian, deadline proposal, cita-cita? Huft! Dan parahnya, gue inget abang gue bilang, "ini baru permulaan, kamu masih terlalu, muda, kan, I?" :'(

Tuesday, October 4, 2011

Amnesia Kaum Iron Stock di Barisan Akar Rumput Polis Kampus


Tanpa titik, langit sejarah bangsa telah mengenal mahasiswa sebagai satu komunal strata masyarakat yang tak dapat diindahkan keberadaannya. Mahasiswa telah menyumbang banyak bantingan stir bagi fase-fase kehidupan reformasi Indonesia. Mahasiswa telah terlanjur menjadi salah satu pion yang bermain dalam percaturan politik Republik Kesatuan ini. Ia telah basah untuk selanjutnya mengekstraksi segala hikmah perjalanan drive on-nya di masa lalu. Alhasil, kini mahasiswa juga punya dunia “kebangsaan” dan “perpolitikan” tersendiri. Sebuah polis kampus yang kemudian ber-metamorfosa menjadi semacam simultansi effect dari prosesi miniatur Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ditandai dengan kemunculan aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa yang berwawasan nasional, semarak politics by action telah menjamuri otak-otak para muda intelektual. Setidaknya, ada tiga aliansi yang kemudian memunculkan giginya di langit negara kampus senusantara. Sebutlah BEM SI, BEM Nusantara dan BEM Nasional.
BEM SI (Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia) dalam perjalanannya dianggap lebih dulu ada sebagai gerakan oposisi-konstruktif kini dalam isu-nya dihadapkan dengan pembentukan BEM Nusantara yang dianggap pro-government. Sementara pergerakan lainnya dimotori pertemuan BEM Nasional di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada Maret 2010.  Hal ini bisa dimaknai sebagai suburnya simpul pemikiran di kalangan mahasiswa Indonesia. Serta begitumasifnya kepedulian generasi bangsa terhadap pencapaian cita-cita Negara. Benarkah?
Selain itu ikatan profesi jurusan juga tak bisa disebut sepi. Para calon dokter memiliki ISMKI (Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia) yang telah mapan dengan kerat embrio IMKI (Ikatan Mahasiswa Kedokteran Indonesia) yang dimulai 1969. Sementara para calon ekonom memiliki FOSSEI (Forum Silaturahmi Mahasiswa Ekonomi Indonesia) yang rutin melakukan pembenahan kritisasi ekonomi nasional. Selanjutnya mahasiswa hukum juga akan segera me-launching struktural BEM FH SI di Semarang Juli kemarin.
Maka semarak polis kampus tanah air tak dapat dianggap mainan belaka. Sebab kita sama tahu bahwa seringnya, gerakan akar rumput lebih dahsyat dibanding kebijakan top-down presiden dan menteri-menteri. Terlebih simpul struktural telah siap mengalirkan impuls secara simultan ke sekujur badannya. Di titik sadar yang ini, sebaiknya pemerintah berhati-hati. Sebab kita baru saja disentil dengan nuansa ’98 ketika Husni Mubarak dituntut turun oleh publik yang digerakkan mahasiswa Mesir.
Di balik segala pamor akan efektifnya pergerakan akar rumput polis kampus, ada banyak hal yang harus dikritisi lebih dalam. Bukan relevan lagi jika langit polis kampus masih berada pada tataran menggertak pemerintah soal polemik mafia pajak di meja sistem quasi presidensil. Bukan juga sekedar tuntutan kosong atas dilematika yang menjajari rakyat miskin kota dan desa. Tapi lebih dari itu, baiknya kita bentangkan satu fakta bahwa mahasiswa yang katanya agent of change dan social control ini kiranya lupa akan satu fungsi paling pasti dan strategis yang harus mereka persiapkan, yakni as an iron stock!
Mahasiswa dalam maraknya dinamika polis kampus tidak bisa tidak, harus mafhum dan insyaf akan fungsionalnya yang paling urgent ini – IRON STOCK. Betapa kemudian ia dikhususkan pada a needed of stocking human yang memang berkualitas secara formil maupun materiil. Kembali, bukan hanya sekedar atas nama social control lalu menghujat pemerintah atau atas nama agent of change membeberkan keterbelakangan bangsa yang katanya pe-er para penguasa.
Baiknya polis kampus ini mengevaluasi lagi kebulatan dan kedewasaan perpolitikannya. Sebab semarak lembaga pergerakan bisa jadi sarang tendensi masa depan. Juga, sumber rasis-non-logic soal entitas politik. Sudah menjadi rahasia publik, kecendrungan entitas politik adalah suatu struktur yang meng-kultur dalam piringan kampanye kekuasaan. Hingga yang ada, aksi tuntut dari mahasiswa dan pengelakan dari pemerintah pun bukan murni suara masing-masing ranah, tapi politisasi segolongan. Rakyat sudah tidak butuh aksi mewah tentang pertentangan idealis yang hanya memenangkan entitas partai atau klausul rasis!
Sementara bangsa tengah membutuhkan attitude politik yang mapan, tentang menghargai spoil system demi tujuan riil praksis nasional. Kita kiranya telah bosan mendengar selentingan kabar begitu alotnya lobi kuasa di ranah bestuur negeri. Lalu masihkah harus kita saksikan peregangan suara di bilik-bilik kampus? Sebutlah tentang “diferensiasi genetic” GMNI, PMII, KAMMI, HMI, IMM serta belum lagi entitas politik endemik di masing-masing daerah yang belum sempat me-nasional.
Hilangnya kesadaran akan fungsional iron stock yang utama dari barisan lembaga akar rumput polis kampus ini-lah yang kiranya menjadikan system perpolitikan bangsa tak menemui titik independennya. Kita, mahasiswa di kampus-kampus masih lebih suka memilih tercelup dalam satu lembaga entitas politik yang dianggap memiliki eksistensi, ketimbang berbakti setelah memenuhi daftarisasi mumpuni. Kita, mahasiswa di kampus-kampus juga masih lebih suka absensi untuk sebuah pawai yang hanya mengangkat sinergi segelintir. Kita, kiranya lupa berbenah diri.
Bahwa entah menjadi social control atau agent of change, satu yang pasti mahasiswa secara umum dan khusus telah menjadi iron stock yang dinantikan. Lalu apakah barisan akar rumput polis kampus ini tega menjawab penantian sekian warga bangsa dengan regenerasi yang tak jauh beda dari sebelumnya? Terlebih, kita sama tahu, bahwa mereka yang kemudian menduduki posisi eksekutif dan parlemen Republik ini adalah mahasiswa juga di masa lalunya. Mahasiswa yang melantangkan suara atas kritisasi kebangsaan di jalan-jalan dan koran. Maka, akankah sama lulusan polis kampus masa mendatang? Kita sama menunggu berita selanjutnya.

Appetite


I just missing. The things I’ve to found even I don’t ever needed.

I just falling. When the stars call the sweetest moment of raising.

And I can’t stand on my wanted-to-be. I just myself.

So don’t ever judge me on the way you hate me.

So don’t ever smile on the dark you feel you lost your mine

It’s not the purple song you could tell the world you miss it.

And it just so hard to know that the picture was listen the air on it.

Then I’m a loser whom the blood turn to be some reason of your aim.

What an appetite, what a never-be-clear-appetite.

Kau

Jadi begini, disini kau berkata begini lalu tinggal landas mengenangku sendiri. Jadi begini, disini kau memangku fajar hingga gemilang cahaya bertabur resapan intan angkasa. Sempurna, kau jadi begini.

Yang begininya seperti ini dan itu, cuma di perasan terakhir hippocampus yang menyeret panah-panah sentrifugal yang berlari ke ujung dunia, mengejarnya sampai jatuh saup jauh di hatinya. Ah, kau merajuk manja lagi. Mengapa tak dijadikan sepuh basi atas emas yang tak lagi mempan disebut emas, atau debu yang pantasnya menohok jambu-jambu, rambu-rambu bambu. Sempurna, kau jadi begini.

We were born for death

Katamu, kata-katamu begitu jadi begitu begininya. Seperti kau jadi tahu segalanya. Tentang dirimu. Tentang aku.

Katamu, kata-katamu begitu jadi begitu begininya. Seperti kau jadi cenayang di prosa-prosa cinta yang tak terdefinisikan bahasa manusia. Tentang aku, apakah dirimu.

Selepasnya pengadilan tata usaha negara kita membangun pion-pion kaca yang rapuh merana, kau tetap saja memainkannya. Sekarang jadi hancuran kotak hitam putih yang tak lagi membangun jiwa perkasa bila Laila ditemui Qais terkasihnya.

Saat Harry Potter mengetuk nada tongkat panjangnya, atau J K Rowling membuahkan hasil karyanya. Masing-masing kau dan aku punya diskusi rahasia di bawah selorok selimut kita. Sebelum ibumu atau ibuku datang dan memeriksa apakah aku dan kau sudah terlelap tidur. Kita berpura-pura.

Saat Gus Dur naik di pelantikannya tahun 1999, atau Amien Rais berdiri di tribun reformasi. Masing-masing kau dan aku punya janji setia di lelapan redup lampu belajar kita. Sebelum ayahmu atau ayahku mengangkat tubuh mungilku dan otak besarmu itu ke bawah selorok selimut kita. Kita jujur bercerita tentang segalanya.

Soal pusaka malin kundang waktu mengarungi samudra. Kau dan aku tak ingin jadi aku dan kau.

Pesona



Aku tak dapat menerka dengan leluasa. Tentang falsafah dugaanku yang paling asasi. Sebab prasangka ialah perkataan yang sedusta-dustanya. Pula bicaraku tak jadi vitamin yang menghindarkan aktivasi virus nalarku. Aku terpana.

Kini betapa ia riang gembira dalam rona bening wajahnya. Ah, bidadari surga. Kapankah kiranya katalisasi fana mengangkasa bersama tiupan sangkakala. Lalu jadi definan nuansa yang tak terdefinisi. Akhiran yang menyongsong tanpa akhir, di batas terminal yang tak ada lagi putar parkir.

Bahwasanya fir’aun mengakui juga kekeliruannya waktu garam menempel di batasan tenggorokannya. Pecahan pangkal dua udara di persemayaman gulita, terlambat sudah. Sebab kini ayat retoris itu sembilu mengiris jantungku, kita telah tahu yang pertama lalu mengapa tak belajar untuk transformasi lanjutannya?

Iya, manusia memang serba salah pula jadi serba benarnya. Kala sampai dentum tragedi atas darahnya, terhenti pula asupan oksigen ke otaknya, jadi gila. Kesana kemari mencari menang dan kalah. Lalu aku Cuma bisa kembali terpana.

Terpana, dibidik naluriah sinisme jembatan panjang yang melebar kemana-mana. Lewat mana?

Iya, T-E-R-P-A-N-A. Cuma menganga membasahi dengan sisa-sisa yang tersisa dalam intrik proporsional soal merah. Ini garisannya, usai itu ia bisa jadi merah-putih atau merah-kuning-hijau. Terserah kau.

Terkaanku memang tak dapatkan nada yang dimaksudkannya dengan seksama. Terlebih lagi dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Berkhayal saja, sebab merdeka bukan lagi tentang undang-undang dasar 1945. Dan akuisisi material dustanya jadi asasi formil ekstase yang luarbiasa. Merajalela.

Baiklah, kini ia tak ingin disebut kupu madu dan kupu-kupu sayap merdu. Sebab manisnya bukan kecup glukosa di titipan simbol-simbol ganasnya. Ini lagi-lagi bukan tentang pola pintu stomata atau restorasi kromosom manusia yang 23. Dinamisasi. Dimana problematika jadi arogansi sosial yang membajak kerja-kerja pilot project sederetan rasi. Tanpa saksi.

Sehingga transporter waktu mengetukkan denyutnya dalam hitungan lima jari. Habis itu, pergi berlari. Bosan. Jadi sebuah paradoxal norm yang mencari pamit tanpa permisi. Dibebaskan, tutur kata tak lagi menuansa menghebatkan.

Lagi-lagi, jadi sejenis overdosis di penghujung perobatan keadilan yang basa-basi. Lagi-lagi, memang sakit yang sedusta-dustanya prasangka asasi. Caci maki.