Wednesday, August 24, 2011

Teori Entitas

Keberadaan beda dan sama masih terus menjadi diskursus filasafati setidaknya sampai Marx memunculkan filologi komunisnya. Definisi sama dan beda menjadi sebuah rangkai simpul yang paling diminati untuk terus diperbarui. Atas sebuah keputusan dalam kerangka marxis, ia menjadi definan dominan yang keberadaannya dapat diibaratkan sebagai sebuah pangkal batang utama. Sementara akar-akarannya yang menjalin simpangan itu, terus menerobos menjajari alam atheisme yang dalam.

Perbedaan dan kesamaan adalah sebuah kepingan dua sisi yang kemudian tak bisa dipisahkan each other. Sebab sejatinya sesuatu akan terdefinisi sebagai dirinya sendiri, sebuah manggis dalam sebuah keranjang manggis bersama manggis-manggis yang lainnya akan terus jadi dirinya, walaupun ia hanya terlihat sebagai 'segolongan' manggis. Seekor bebek diantara bebek lainnya yang diasuh tuannya, tetap jadi dirinya yang untitled walaupun iya hanya dikenali sebagai 'sekelompok' bebek.

Maka manggis meng-entitas jadi segolongan manggis dan bebek meng-entitas sebagai sekelompok bebek. Manggis manis? Manggis masam? bebek kampung? Dan selanjutnya, sekeranjang manggis yang ini jadi entitas manggis masam walaupun di dalamnya ada sebuah manggis yang manis. Ini entitas, maka ia tak terlihat

...flow down.. wait for a moment, I've got some bored area of me, this isnt as easy as i think

Derival

Entah, rasa-rasanya aku memulai irama baru tentang kecewaku. Yang hitam putih di kedip jalang mata-mata intan lautan. Yang hitam putih hanyut di paras lebah dan serangga. Dibawa terbang, terpaksa menyetujui dengan bau-bau tengik dilematika. Aku kecewa.

Memang kapan aku pernah bilang bahwa marah sama artinya dengan duka. Memang kapan tulisanku diikatkan dalam tali pintu-pintu rahiim antara aku dan kau. Bahwasanya duka cuma krisis kegilaanku atas pesona dunia. Bahwasanya ikatan tulisanku, dikaretkan dalam bulir getah lembayung pagi-pagi ini. Tak ada. Tak ada lembayung di pagi-pagi ini.

Lalu satu derival inginku, susah payah mengobati sayapnya sendiri. Kecewa ia dengan tangga-tangga integral kepunyaanmu. Satu derival inginku, beranak-pinak jadi krisan kecewa yang ranum pudar. Satu derival dari inginku, menggelesorkan sekujuran nadanya, basa-basi meminta peluh dari sedikit sinaran mentari pagi-pagi ini.

Yang tak ada lembayung.
Yang tak ada hitam putih di lembayung pagi-pagi hari.

Hingga sejatinya ingin hanyalah koneksi cepat antara aku dan ikatan karetku. Kembali ia, seketika karena cinta pada tuhanNya. Ah, bukan, bukan ia. Bukan ia secinta itu, tapi terlanjur besar rahiim tuhanNya memeluk. Terlanjur banyak dicintainya, terlanjur banyak diasingkannya.

Yang tak ada putih hitam lagi.

Di fajar sore hari yang menyela bila lembayungnya telah ada. Jadi nyala-nyala gulita yang tiada fana dan kecewanya lagi. Di sudut derival dalam nada-nada tangga integral ingin dan kuasaku. Aku telah masuk dalam pintu-pintu, pintu kemudi seketika itu.

-------------------------

Sekilas, aku ingat. Sesuatu yang sudah pernah kutuliskan disini. Sebuah episode paling kusukai yang disana ada Fathir Al Quraabid. Di atas ilalang terbang, penghujung jurang di subuh hari. Waktu tangannya menunjuk pelita matari yang perlahan naik, "Fajar!". Disebutnya masdar namaku dengan penuh kecintaan, ya, aku melayang ke angkasa. Sebegitukah fajar yang sesungguhnya?

Dan sekarang tinggal busa bagi bisa kebisaanku untuk terus menganggapnya seorang abid yang dulu.

Katanya, ini kecendrungan. Ini rahiim yang kemudian tak terurai atas definisi progresitas orientasi dan mimpi-mimpi yang muncul terbenam, naik-turun. Ini kecendrungan, ikatan yang bahkan tak mampu dikejar nuansa setia.

Katanya, al Kindi mengatakan bahwa saudaramu itulah dirimu, hanya beda jasad yang memisahkan jiwa-jiwa. Dinasehatinya aku, tapi kali itu tak seperti biasanya. Rasanya menusuk, tanpa senyum canda dan tawa-tawa konyol soal disorientasi kata dan pemaknaan. Aku terpana.

Ini kecendrungan, katanya. Ketika kemudian tak ada simpangan lain selain aku. Ini manis, kataku.
Lalu baginya sekarang zero juga. Bukan, bukan itu kan?

Monday, August 22, 2011

Jembatan

Ilalangnya menari di angkasa. Sebatas mimpiku berarak menuju ke surga fana, surganya dunia yang semata-mata ada. Ilalangnya di angkasa, sebarisan kata melukiskan kenangannya pada warna-warna yang berbaur jadi sebarisan logika. Logika yang membelakangi angka-angka. Angka-angka cerita, bilangan tahun dan tanggal-tanggal yang tersisa dari lembutan aral yang tersingkirkan dari dilematika fatamorgana.
Ia tak ingin terjembatani dirinya. Sebersihnya nada-nada yang memutus tali sengketa dari suara. Setulusnya rancu berpisah dari senjang moral yang berbahasa sama. Selepas bergetarnya pesona yang tak terangkaikan dari cabang-cabangnya. Mozaik yang kehabisan perekat ajaibnya. Tak tergambarkan, jadi kisah di puisi-puisi imajinatif yang jauh dari kerangka ingin tuan-tuan sekalian. Mati suri, ingin hidup sekali lagi

Monday, August 15, 2011

Wowowow :D

Gue nemu ikhwan keren! Ceritanya, seperti biasa, garagara sumpek di rumah, gue jalan jalan kan keliling Jakarta naik busway. Wah, ini sebenernya agak kacau juga, berhubung, mengandung radioaktif negatif yang bisa bikin pamor gue turun. Haha, peduli apa dengan pamor.

Yah, yah, yah, ini mungkin terakhir kalinya gue geje gitu naek busway turun-naik shelter dan bolakbalik ngasi smile klise ke abang-abang yang di pintu shelter. Ya, Allah.. haha subhanallah dunia dengan dengan segala hiasannya yang baka maupun sekedar abata.

Oke, oke, balik lagi soal ikhwan keren.
Gue ketemu dia pas lagi di salemba, sampe harmoni, ni anak masi terlihat kacau sih, dengan aura ikhwan yang tidak nampak samasekali. Pake jeans gitu, gak isbal lagi, #seakan penting bgt haha

Ya.. gitudah, kayak orang biasa yang nggak tersibghah 'tarbiyah'. wokwowok.
Kaosan, dan pake sepatu gaol banget gitu lagi, (ngalahin sepatu butut gue yang gak pernah dicuci sejak beli). Wewew metal!

Sejenak gue ngeliat ni anak, agak berasa envy juga sih, kan gue udah bilang kalo dia sebagai orang yang mungkin tidak tersentuh yang kayak menyentuh gue (*apaan deh), itu keren banget, trus ditelpon belagak sibuk gitu, "iya, ini gue masi di busway bawel banget si lo.." ahaha sumpah! kalimat "bawel banget si lo" tu udah gue idamidamkan mau gue luncurkan pada saat yang tepat pada orang paling tepat (membetekannya) ntar.. dan ternyata, dia udah ngeduluin ahahaa (*gak mutu banget ni tulisan)

Pas di kalibata, garagar dia turun, gue ikutan turun ae. Turun ke basement, ni orang masi keren, apalagi waktu sambil turun tangga masang earphone. Berhubung kalo gue kayak gitu bisa berabe banget, ahahhaa, jilbab gue lebih dari selembar --".

Adooooh ni anak masi asoy boy.
Gue belajar kan gimana caranya bisa punya aura dan penampakan sekeren itu hahahaa (*kalimat gak mutu :P)

Wew! dan pada akhirnya, ini bagian paling seru, gue masi ngikutin dia kan. Daaan pokoknya singkat cerita, akhirnya setelah naek metromini duakali yang cukup jauh, naik satu mikrolet kecil juga *kalo gak salainget. Gue dan dia sampe di salasatu se-ting negeri. Huuuumm ternyata gue udah di bintaro --". Perasaan waktu gue kesini, buat silaturahmi (*ke siapa gitu lupa) itutuh jauuuuuuuuuuuuuuh banget dari cawang, tapi entah, perjalanan kali ini pokonya seru karena dibarengi "keberhasilan" nguntilin orang. ahahahhaaa

Gue jadi berasa shinichi kudo gitu kan. wohohooo

Ini, nih. INI. INI. INIIIIIIIIII. YANG GILA.

TU BOCAH MASUK SEKRET - YANG SAYANGNYA GUE LUPA APAAN NAMANYA -,-.

dan disana...

"ahlan wa sahlan akhi.." toeng!

dan parahnya..

"DIA NGISI MATERI: MIHWAR DAKWAH"


Pawawwaawww ckck! semoga lainkali gue dapet gelegar kayak gini lagi kalo menguntit di lain hari hehehehheheee

Subhanallah akh! hoo

Belakangan gue tau kalo dia.. mmm.. ya.. setaraf tetuatetua di UB juga. Mmmmm aiih terklesima gue, don't judge kader by its cover lah.. hahahha

Friday, August 12, 2011

Listening

Ya, Rabb, aku terkesan akan sebuah makna ketakutan. Biar, biar saja hilang hafalanku jika itu bukti dosa-dosa selama itu. Ya, Rabb, aku benar tersudut dalam ruang ketakutan. Dimakan hati kecilku sendiri. Biar-biar saja hilang hafalanku agar kelak Kau sempurnakan aku sebagai bidadari surgaMu. Rabb, biar-biar saja hilang hafalanku.

Ikhlasku, tak dapat lagi membayar besar maksiatku. Ikhlasku, tak dapat lagi dijarah untuk menembus dialektika waktu-waktu. KIni cuma ketakutan bila tak terbayar angkuhku. Ya, Rabb, sungguh hanya iman itu sajalah yang masih menolongku.

Biar-biar saja hilang hafalanku.

Jam

Satu jam, dua jam, atau tiga jam.
Satu dua tiga jam.
Satunya dua tiga jam.
Satu satu dua tiga jam.

Yang tiga dua jam jadi satu satu.
Atau dua tiga jamnya satu.
Tiga jam dua satu jam-jam.
Jamnya satu dua tiga.

Thursday, August 11, 2011

The more-less

Never give up! I just counting my own hair.
This is one, two, three and four, and more.
And more. And more.

I just can't listen the hair singing. While the sounds changing like a bowling pool at all. This aim. The more four.

Never smile in! We just already going on the morning and bleeding the part of aim.
We just a blood and part of our. The more of four.

This is a piece

I've been losing my piece, listening the air swing. Just like I think its never gonna be so cold like this. Seems I do not ever feel this. What a piece! Then I'm just in, just following.

Would you bought me the other simple node to paid the pain? You just a liar, right?

And I keep myself losing my piece. A difficult task to be done in time. While the whole hole perfectly knocking my clock, puttin' on, I'm just in, just following.

Would you close it closer because of them? You just think you do, right? And I am not.

A simply question to ask, simply air to crack. You said. Then I was losing, eternally closing. Won't falling, though the smells calling. I knew that am a kid. Grand-kid.

I'd wanted to show what the piece I mean is. This is the rainbow which you never walk on. This is the part of ancient Roman I would never told. This is the part of that old. Yeah, this is a piece, the piece I've been following. Just on, putting on.

Because you will leave me in home to tell me to not to open the door. I do. Yeah, this am! What a piece.

Wednesday, August 10, 2011

Sebuah Dialektika


Aku melihatnya berbaur dalam cahaya matari pagi.
Disana dan disini, tangan lusuhnya masih merayapi kesana kemari.
Tebaran sampah-sampah kota elegi, cuma jadi bias pagi dan sore hari.
Mereka, ketika ditanya, tak lagi punya angan untuk masa depan.
Mereka, ketika ditanya hanya punya putus asa.
Lalu dibagi-bagi, jadi kering yang tak menyuburkan lagi.

Ada suatu dialektika bahasa yang selalu memberi warna dalam setiap batasan persepsi kita. Dialektika yang subur sejalan dengan masih adanya sisian kiri di samping kanan juga selama masih adanya bagan atas sebelum bagan bawahnya. Dialektika bahasa ini pada suatu ketika juga menghampiri konsensus-konsensus manual dalam internal diri kita sendiri. Konkretnya, ini tentang suatu perspektif pribadi-pribadi dalam memberi label atas kejadian-kejadian yang menimpanya.

Dialektika bahasa memaksa kita membentuk suatu tabiat dan paparan eksistensi terhadap diri kita sendiri. Fantasi analognya, setiap orang memiliki dua kantong dalam perspektif dialektika bahasanya. Kantong pertama adalah kantong positif dan kantong kedua adalah kantong negatif. Setiap kita tak pernah berhenti mendefinisi, ini positif atau itu negatif. Lalu tanpa kita sadari kedua kantong itu selalu kita bawa kemana saja, baik dalam tidur ataupun bangunnya kita. Lengkapnya, setiap apapun yang masuk dalam kantong positif akan terurai layaknya O2 yang menutrisi dan memberi alir energi, sebaliknya setiap apapun yang masuk dalam kantong negatif akan bertransformasi menjadi semacam CO2 yang merusak dan meracuni.

Kita mengisi kedua kantong itu dengan serangkaian informasi yang ditangkap indera. Ketika misalnya kita mendapat nilai ujian percobaan yang belum dalam batas aman impian, kita tentu akan segera memasukkannya dalam salahsatu kantong dialektika bahasa pribadi kita. Jika kita membahasakan informasi atau kejadian tersebut sebagai suatu hal yang positif, maka bonusnya adalah asupan layaknya oksigen yang menyegarkan untuk terus berusaha. Sebaliknya jika kita tidak sanggup men-dialektika-kan kejadian atau informasi tersebut untuk disebut positif, maka satu nilai uji coba yang belum tersebut akan masuk dalam kantong negatif yang sebagai imbasnya meracuni kita dengan amarah dan sesal yang berkepanjangan.

Inilah sebabnya kedua kantong itu disebut perangkat dialektika bahasa. Sebab setiap kita bisa berdialog, berdialektika dengan bahasa-bahasa dan pembahasaan diri kita terhadap suatu konteks yang menimpa kita. Maka setiap kita berbeda, unik dan memiliki dua kantong dengan besaran yang tidak mungkin sama. Seseorang bisa saja memutuskan untuk mengurung diri di kamarnya atau ia bercanda lagi dengan pagi dan esok hari. Seseorang bisa saja mengutuki para pejalan kaki yang menyebrang atau ia memperlambat laju kendaraannya untuk tersenyum bahagia. Ya, segalanya bisa saja jadi lebih indah jika begini caranya. Layaknya oksigen yang menutrisi dan memberi energi. Kita bisa jadi terus ‘hidup’ kembali.

Aku berfantasi punya kantong ajaib.
Satu saku untuk menyelesaikan semua masalahku.
Satu kali saja mengambil sesuatu. Lalu jadi aku.
Jadi aku butuh satu saku untuk memilih kata-kata dan caraku.
Kantong ajaib dialektika bahasaku. Lalu jadi aku.
Jadi aku memilih satu dari gudang saku.
Pilihanku untuk terus berprestasi dan maju.
Untuk kau juga, bersama-samaku.

Tafakur

Akhirnya rasa-rasaku menemui jaring tangkapnya dalam nuansa selaksa kata yang berkepanjangan. Jika habis waktu, waktu kata tak lagi bisa bicara. Waktu itu, kita berduka untuk asap yang hilang batas di kiamat hariannya. Rabb, aku belum habis perkara, dibisikkan nelangsa oleh syayathin yang jauh menganiaya. Rabb, maka tolonglah aku.

Bila saja kemudian aku dipungut pergi ke alam baka. Anyir memasak nanah jadi batu dan pukulan darah. Ah, aku ditampar dan digulingkan sejauh lolongan suara. Rabb, aku belum habis perkara, begitu basi selalu mengatakan basi, racun impuls yang mendilematika asa. Rabb, maka ampunilah aku.

Lalu bulu-bulu lintah tersapu pijar api yang menyala-nyala. Dibujuknya aku untuk makan buah yang panas menyiksa. Ya, Rabb, bila telah datang masa, aku mati tak bisa lagi berbuat apa-apa. Ya, Rabb, sebab itu pasti adanya, di lekuk hidupku yang berputar tak mengangkasa, aku hanya sekedar insan belaka.

Bergetar halilintar. Bukan lagi rintik yang biasanya menitik licik. Ini jauh dari sekedar titik. Bukan juga seribu titik, atau titik setelah deret angka koma dan tanya. Ini bukan sekedar titik, titik seusai pergi hitungan angka. Akhirnya ini bukanlah titik, bukan titik yang pernah kuketahui.

Tuesday, August 9, 2011

Mommy!

Kau lebih beruntung dariku. Sebab kau bisa banyak berkata-kata unuk menyenangkan hatimu, walaupun di embun jendela kamarmu seperti yang waktu itu. Saat aku hampir saja mengganggumu, anakku.

Kau tentu lebih bahagia dariku. Sebab dengan semua kegilaanmu itu, paling aku cuma bisa tersenyum satu-satu senti saja. Tak pernah terlalu memarahimu juga.

Agar kau lebih beruntung dariku. Saat pelita tak ada harapan terbang lagi, pancarannya masih ada untuk melayang di awan-awan, katamu. Ah, kau begitu patut dirindukan.

Agar kau lebih bahagia dariku. Kata-kataku bukanlah kata halus seperti yang kau lakukan sore itu. Tanpa bicara. Ya, kupu-kupu madu, kupu sayapku. Kacamata, mata-mata hatiku. Sejauhnya sore hari, melangkah tak sengaja menemaniku sendiri. Katamu. Katamu di buku harianku.

Aku tak seberuntung itu. Pula tak sebahagia kau. Maka bukan lagi tentang aku ingin beruntung atau bahagia sepertimu. Sebab aku bukan. Aku cuma seorang ibu saja.

Aku cuma seorang ibu saja. Ya, seperti itu, seperti mau-mu.

Monday, August 8, 2011

Unconditional

Aku sedikit banyak mengukur nanar dalam presisi bulan di cahayaan senja menuju peraduan. Digulingkan ke kanan dan kirinya, bergidik memastikan bahwa disana sini memang hanya ada basi yang disegarkan. Aku hidup lagi.

Seperti katanya, aku memang tak pernah akan tahu apa-apa. Bukan subordinasi antara aku dan siapa. Hanya sekedar lalu lalang mataku jadi pemerhati desain lingkungan kotor sungai-sungai pinggiran kota-kota Malang raya.

Lalu diungkapkan kunang yang berkunang-kunang di pelita citra kembang kunangan, bias air bisa begitu canggihnya membuat pensil bengkok tanpa nyata. Tapi begitu seadanya, begitu imaji tunggalnya, jadi fantasi yang ditransformasi jadi fatamorgana. Aku tak tahu apakah akan hidup lagi. Bukan subordinasi antara aku dan siapa. Cuma basa belaka, kali ini saja.

Maka pantaslah jika suaraan gemintang jadi tak begitu seterang cahayanya. Atau nyaring suara binatang jadi tak secerah indah bentukannya. Sebab ia tak begitu. Jadi tak begitu bisa apa-apanya siapa.

Seperti katanya, aku memang tak pernah akan mengerti apa-apa. Bahwa substan terkadang dihalang pembatas biru berbentuk batu. Bukan subordinasi antara aku dan siapa. Tapi ini tentang bias yang bengkok di penghujung waktu-waktu yang tertentu. Di pinggiran jalan menuju hantu-hantu palsu, soal warna di irisan wanginya atau citra di lapisan kedua sandwitch daging asap setengah matangnya. Aih!LAPAR! Lapar kebasian yang disegarkan.

Agar jadi candu hatiku. Candunya para mati yang hidup kembali.

Biar senyum rembulan jadi atap yang selalu menutrisi bilik-bilik jantungku. Jika ada titiknya di pulasan make-up tebal sang kesungguhan, dihasut impuls syaraf halusinasi manusianya. Cuma basa di candu yang terpaksa membuatku terpana. Dibidik panah-panah syayathin yang menakutkan, mengelabui dengan sikut-sikut persekutuan dengan nalar kecut. Bukan subordinasi antara aku dan siapa.

Ya, Cukup tahu, luarbiasa!

Wednesday, August 3, 2011

Ultrav

Aku sengaja, secara tak sengaja menenun kait dalam tutupan jilbab merah mudamu yang cantik. Aku sengaja, secara tak sengaja terpesona. Bahwa runutan kecintaanmu itu adalah murni yang menyala wangi. Bahkan katamu, kalut cuma bias rasa yang terdefinisi begitu saja. Ya, sengaja dalam ketidaksengajaan yang tinggi.

Sementara itik kurus masih mencari makanannya di serasah rumput hutan cemara.

Secara tak sengaja pula ia telah sengaja mengajariku tentang larutan buih di jalan takdir yang rinci. Di relungan kaktus-kaktus gurun matari. Terik! Gersang menyengat. Sebab aku tak suka. Sengaja secara tak sengaja meninggalkan setting jernih yang putih di bias intensitas ultraviolet jalan-jalan raya.

Sejauh itu aku melangkah.

Tak sengaja, sengaja memilih jiwa. Jiwa yang bertaut dalam kait salut yang menyulut bakaran asap-asap rerumput. Aku katamu, satu, satu per satu jadi jalinan taman bunga warna warni. Aku katamu, mawar hijau itu. Ya, sebelum jadi putih atau kuning yang semestinya. Di jalan, jalan jalanan yang berjalan di bukaan jalan-jalan layang. Aku terpana. Sesengaja itu tak sengaja melangkah.

Luarbiasa!