Friday, July 29, 2011

The Precipice

Baiknya aku selalu tahu bahwa jurang ini telah menemui batas sisiannya. Direngkuh nada-nada khayal tentang terbang ke dasar. Hingga jatuh berbisik dalam debam kering tanah serasah. Aku mati. Tak bisa bangun lagi.

Mungkin terbang tak perlu lagi dengan sayap. Atau aku tak perlu lagi mati untuk kedua kali. Ya, selaksa kata muncul berkelebat, semilir menyusup dalam renungan jatuh yang hebat. Kegilaan alur salamku yang hangat, diantar unggun malam dan cicit jangkik kota-kota abad. Aku tercekat. Mati karena energi hujan kilat.

Merangas. Lebih ganas. Panas!

Somebody paid me for real. While the wheel wont take out the whole hole. Never give up!

Monday, July 18, 2011

HUMOR CANTIK!

Jika saja kalian mau percaya padaku bahwa semilir dingin angin pagi kota Malang sudah tak lagi menyejukkan bagiku. Dan jika saja aku percaya bahwa kalian akan percaya jika kukatakan, "deretan toko yang di depannya terpampang papan 'closed' itu telah meraksasa menudingku berbuat dosa yang amat besar pagi ini". Maka akan kunyatakan bahwa dua kalimat di atas itu bukanlah rangkaian kata konotan dalam aliran impulsku yang tengah bergolak parah. Angin kota Malang bulan Agustus ini memang tengah membumbung menggodok kedua pipiku hingga matang dan pintu-pintu kaca sepanjang jalan Gajayana itu pula memang tengah menatapku seram seraya bersorai ramai, "jam enam lewat tiga menit! Kamu TELAT!"
.......
Aku tergesa menjajaki jalan lebar di sisian gedung Fakultas Ekonomi. Sekarang pukul enam lewat sebelas menit dan jadwal apel pagi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya adalah pukul enam TEPAT. Aku memang parah karena baru terbangun pada pukul lima pagi tadi. Aku memang - PARAH.
Segalanya disini memang berkadar lebih dan kali ini aku harus menanggung kepedihan sebagai imbasnya. Gedung orange pudar Fakultas Ekonomi telah berhasil kulewati dalam waktu dua menit dengan bantuan kedua kaki yang di setting berlari speed maksimum. Ya, ini memang berlebihan. Sungguh benar nyata kesungguhbenaran kenyataan lebihnya.
Seorang senior memandangku kejam sejak dari kejauhan. Kedua lengannya masuk ke dalam kantong jas almamater hijau lumutnya yang abstrak menuju degradasi biru. Sementara di bagian atas lengan kanannya melingkar ben merah yang berlagak mengejek menakutkan. Sampai pada akhirnya kami hanya berjarak 50 senti saja,
"Kamu telat?!" ujarnya sedikit diskriminatif - berhubung itu pertanyaan yang sudah jelas apa jawaban logisnya
Aku menggerutu sebal, kenapa tadi malam harus main game sampai lewat jam dua pagi! aiiih!
"Ikut saya." katanya lagi
Ia lalu berjalan sok keren menggiringku yang melangkah repot akibat baru menyadari sweater hitam - tanda perjuangan di jalan raya menerobos sekian kilometer udara dingin batu - malang di atas motor - yang masih kukenakan dan harus segera kulepaskan sebelum pandangan sinis sang senior menempeleng harga diriku. Maka aku masih mengejar langkah sok-nya itu dengan terseok sedikit - nggak banyak-banyak lah, ngapain juga hhrrsshh.
............
Sebagai mantan senior aku memang mafhum bahwa yang seperti ini akan terjadi sebagai suatu simultansi masa lalu. Sekaligus sebagai sebuah ekses kesejarahan yang kemudian menisbatkan dirinya pada retorika soal bab nalar penduduk lama ke penduduk baru. Ekses yang kemudian tetap saja tak menyenangkan bagiku. Seberapa hebat pun alur registrasi, ujian serta daftar ulangnya. Gila, aku mulai kembali tak bisa membedakan daftar dan ulang, atau semester pendek dan huruf A di sistem IPK. Maka pada titik ini, dapat kupastikan bahwa PK2 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya tahun 2010 telah berhasil membuatku GILA.

Sesekali

Sesekali kumasuki lukisan dalam hangus biasan kisahmu yang kemarin sore. Aku tak tahu bahwa begitu masif kata-kata dalam perspektif cerdasmu itu. Katanya kau begitu manis. Katanya kau begitu menyenangkan. Katanya, kata-katamu dapat kuputar ulang sesekali dalam mimpi.
Kawan aku kalut dalam bingkai bunyi perkutut. Bercicit sendiri di luaran hati yang mati. Seakan nyatanya diri terbang tanpa alir udara. Terlebih ruasan tulang jantungku mendadak kaku kerdil. Jadi busa bagi bisa kebisaannya. Mengerikan, aku cuma jadi nyanyian di keping soremu yang mengawan jauh.
Kawan kau yakinkan aku tentang sihir hermeneutika yang kembali menyegarkan nafas udaraku. Sesore yang sesekali. Sesore yang terlambatnya hingga pukul duabelas malam nanti. Fajar subuh yang mengembun basah di pelupuk irisan hati.
Kawan kawan-kawanku. Kau hanya kawan-kawanku. Kawan yang bahkan kawanannya tak ada padaku. Sesekali di kawan-kawan yang berpulang sesore yang hilang.

.........
Awan sore masih bercanda denganku. Beriringan membelakangi tawa para bidadari surga fana, seakan tak tertarik pada bicaraku tentang nuansa dunia. Ah, aku mulai berpuisi lagi, menerbangkan kata-kataku di seluasan rumput halaman belakang rumahku yang baru saja dipangkas. Masih membaringkan diriku sepenuhnya, membiarkan kedua tangan dan kakiku bersejajar mengikuti alur uratnya. Keadaan seperti ini, mengingatkanku akan episode squidward yang tertimpa rumah nanas spongebob, haha.
Beginilah cita ketika kau bersemai dalam gubukan tanah keringnya, sekedar basa-basi mulutmu bicara, menunggui seseorang yang mungkin lupa sekarang kau kelas berapa. Seseorang yang kau cinta. Ya, bukan kau, tapi aku. Ibuku. Yang polesan lipstiknya ungu muda, make upnya tipis-tipis menyala. Aku tak bisa mendeskripsikan bentukannya lagi, sama seperti aku tak mengerti sekian lembar kertas bukti transaksi kosmetik bulanannya. Ya, aku. Bukan kau. Ibuku. Bukan ibumu!
Terkadang kau, ya, maksudku, aku harus tahu bahwa arogansi awan sore tak pernah sejahat terbitnya bulan setelahnya. Aku pernah tahu sedikit, senja kata para penyair yang di atas langit itu berarti perpisahan. Perpisahan tak pernah terlalu menyakitkan, tapi aroma setelah itu yang menyakitkan. Kukira seharusnya konversi senja pada perpisahan itu harus ditilik ulang kembali, atau meneleponku untuk ikut berdiskusi. Ha.. ha.. ha.. Disaat seperti ini, maklumilah, setan memang sering kali merayu dengan angan-angan yang begitu fantantis, Gila, sinis!

Friday, July 15, 2011

Frozen

Prosa kata berterbangan seketika. Katanya abstraksi jadi kokoh putih yang basi. Sekedar jadi asap tempat bilik api bersembunyi. Lalu yang ada hanya kerlingan matanya yang bersih, bening seadanya awan putih.
Sebarisan menjemput terik yang terpatri. Katanya konkritisasi cuma biasan ruang antara eksekusi dan polititasi. Sekedar jadi nyala nila di selusupan kulit gurita. Menggali kuburan sendiri, ailona kampus namanya!
Aih! Aku jijik luarbiasa. Bergidik ngeri di tepian lapangan birokrasi yang keji. Lautan hijau terpampang di jendela warna surga, mengajak pergi sebelum kembali. Sayangnya antrean tiket masuk bukan sekedar satu atau dua milyar rupiah, tapi 400 juta!
Gila, mulai tak bisa membedakan angka dua satu.

Thursday, July 14, 2011

Jatuh Cinta

Aku jatuh cinta
Di lembutan pematang sawah yang menghampar sejauh pandangan mata
Ketika lusuh di semai padi-padi bulir tampah
Lalu suara mesin menggiling menghamburkan dalam dilema kerja nelangsa

Hingga aku benar jatuh cinta
Dalam derunya
Di senja yang mengiring awan putih pergi
Seperginya ia tak kembali

Di pematang sawah, kulihat di kejauhan
Seperginya ia tak kembali
Sekedar ilalang yang merangkul ujung gaun putihnya
Terbang ke penghujungan saup mataku,

Tak tergapai cinta, telah jauh masa
Di pematang sawah

Tiba di serangkaian tatap bisu dan gelayut mata sayu
Tiba di sejurusan lambai tangan pasi yang menjauhi
Tiba di hatinya, tiba-tiba sunyi

Aku benar telah sungguh jatuh cinta
Sesungguh benarnya yang sesungguh-sungguhnya kebenaran itu

Mati suri
Ditinggal sejauh ia tak kembali
Di balik kuasa nelangsa mesin kerja
Di balik suara bulir tampah padi yang jatuh menyampah

Sunday, July 10, 2011

Paracetamol

Ceritanya, di bulatan pendar bulan setengah. Di tajuk rimbunan padang ilalang yang terbang.
Menyelinap di sejurusan ruang hitam antara ia dan tuhannya. Mata cahaya, mata-mataku.
Sekejap jadi separas indah di penghujung renungan ailona. Hantu kakinya, hantu-hantu menghantuiku.
Mengabarkan diri dalam asap putih, sejenak jadi garis khayal antara ia dan tuhannya. Langkah imajinya, langkah-langkah abu senduku.

Masih cerita di bulatan pendar bulan setengah. Satu dua mobil menjajaki abad dua satu, satu per satu tinggal satu dua.
Melintas di badan-badan jalanan yang mengurut perut. Tak ada istirahat, tak ada sempat, tak ada tempat.
Sebening uap noda di atas katun putihku. Tak ada noktah, tak ada arah, tanpa panah.
Menghalusinasi dalam ruang fana, direngkuh paksa. Antara ia dan tuhannya.

Disana.
Kekasih, dikasihinya kasih yang terkasih.
Kekasih, disambutnya thaghut yang menyalahi janji.
Kekasih, kasih rimbun di penghujung daun.
Jatuh gugur di saup embun yang jatuh turun.

Maka seharusnya kini cerita hanya tentang horison pagi. Nyalanya kutunggu di sepertiga malam putih.
Ketika Hudzaifah menyalamiku dalam dialog dustaku. Sanking inginnya kusaksikan sendiri. Ketika katanya ini dan itu.
Ya, Rabb. Aku telah jatuh hati pada bulat pendar bulan setengah. Lupa pada janji temaram yang menghunjam.
Biasannya menghantamku dengan lebatnya. Katanya ini dan itu, tepat di mata kepalaku.

Merengkuh ruang-ruang fana dalam ikatan jadi antara ia dan Rabbnya.

Kita telah sama tahu, bahwa saya dan anda sama-sama nyatanya. Bahwasanya yang saya lihat dan anda lihat, terpaksa ter-transformasi menjadi sebuah data yang sama berseru, "ada". Bahwasanya si manusia ini lagi-lagi berlagak jago dengan kegemarannya mendefinisi. Merengkuh ruang-ruang fana dalam ikatan jadi antara ia dan Rabbnya.

Terlepas dari sederetan mulut berbusa para golongan (yang dianggap) cendikia, muatan nyata dalam yang kita rasa dan kita lihat dalam segala pencapaian indera yang kita punyai telah menemui titik dogma perputarannya. Layaknya sayap kanan lalat yang mengandung racun dan sayap kirinya yang sarat antibiotik. Atau analogi abjad yang dengan perpaduan simbol dasarnya membuahkan biliyunan kata yang bahkan belum ada sejarah terkontemporer yang menyatakan seorang manusia mampu menghafal seluruhnya tanpa cacat. Eksistensi satuan dalam unitas universal bukanlah lagi bentangan yang diliput perdebatan.

Substan dan aksiden aristoteles adalah lapukan yang jadi gelembung putar soal keterbelakangan pra 21. Kita bicara tentang masa depan. Perspektif contstiuendumnya. PROGRESIF PROGRESITASNYA REK!

Imagine my imagination

Mira and imagination

Salahsatu obsesi konyol yang masih terpampang di layar otak gue sampai saat ini yaa... obsesi untuk jadi cowok. Bukannya dengan sengaja mendukung teori gila Freudian soal kecemburuan yang menjijikkan. Bukan juga mau sengaja-ngaja gaya-gayaan. Aaah.. mungkin gue cuma mau sedikit mengklarifikasi anggapan kebanyakan orang selama ini. Nggak semuluk itu juga, sih, ngebersihin fitnah di perspektif banyak makhluk tapi setidaknya, gue belajar wara' lah sama suasana hati.. haahaii (cielaah)

Sebenernya ini bukan cuma sekedar envy, bukan cuma sekedar dissappointed atau "nyeleneh gaya gue" tapi tigatiganyaa wkwk

Iri, soalnya mereka bisa isbal (gak beralasan) hahah... gatau, kayaknya keren aja trus.. bisa loncatloncatin pager tanpa risi disambitin orang sekampung.. trus bisa manjatmanjat pohon mangga tanpa harus mendengar keluhan para ibu-bapak "aiiihh anak gadis siapa itu?"
Gila, asik banget kan, bisa gaya isbal, gitu, sendal gunung meeen!!! kaos seadanya, gausah mandi seharian juga malah dianggap maskulin..!! bisa santai kayak di pantai asik kayak di tasik hidup gue kalo kayak gitu caranya, haha

Nyesel, dikit sih. Sebagai anak pertama dan... (--")
Yaaah.. gitu lah. Nyesel aja, kurang asik ah, pokoknya. Masa kepala keluarga sejak lahir harus dikepalai orang lain di masa mendatang. Waduuuh! apa kata dunia coba. Ini cuma sedikit aja. Berhubung gue masih beriman dikit, hahha, nyeselnya gak boleh banyak-banyak lah.

Nyeleneh gaya gue? Nah, ini nih. Emang dasarnya dasar e gak. Seorang gue salah banget kalo dibilang lurus-lurus aja hahaha. Nggak gitu juga sih. Gini gini gini. Ah, nggak usah deh yang ini. PARAH. Bukannya ngebersihin fitnah, malah nambah-nambahin lagi nanti. :D
Piis! Ntar laenkali,

Yaa.. itulah sedikit kegejean yang nggak layak masuk layar tabloid atau kotak koran. #Frustasi dikritik orang pers malang

Hahaha ;)

Wednesday, July 6, 2011

It just 'was' on past

I was me
Even some nonsense filled it pool by smelly naughty yogurt
I would never be hatred

Dividen

Sedikit ingin menggila dengan secercah perahan air jeruk nipis. Meniti asam manis. Asinan katanya. ah, aku tak mengerti
Bahwasanya sunah sejalan dengan metamorfosa majazi yang tak terjermahkan dalam bulir kata para penceramah. Atau ringkasan syarah para 'alim ulama'. Ah, aku gila. Mulai menggolak naik dalam perimbangan intuisi pribadiku, ini salah.

Mengapakah akhirnya mereka membunuh diri sendiri akibat dilematika dialektika sinaps pikirnya sendiri. Katanya itu mimpi. Katanya cuma sekedar bayang semu keterbatasan persepsi. Ah, luarbiasa. Perspektif persepsi memang terkadang sadis mengiris, perlahan dimatikannya doktrin satu tambah satu.

Maka kini aku ingin berdiam saja. Di selorok tulusku. Di pojokan ikhlasku. Di nafas terengah sebelum matiku. Menjadi seorang salaf yang berpakaian hitam-hitam. Atau meminta dinikahkan dengan salahsatu dari mereka saja. Agar jelas semuanya.