Tuesday, March 29, 2011

Energi

Oleh: Alfajri

Aku tahu, bahwa kamu masih juga tak bisa memilih kami, sahabat..
Katamu, kita saja sudah cukup.
Sahabat.. ya, kata sahabat, begitu teduh
Sebab aku tahu kita tak sedang saling menyakiti

Bahwasanya kita harus bersatu padu
Ya, kita, kamu dan aku harus saling memajukan langkah-langkah baru
Dan sahabat.. ya, kata sahabat, begitu indah
Sebab aku tahu kita tak sedang saling meracuni

Tapi masukilah salahsatu pintu
Pintu yang paling lurus bagimu
Kami, menunggumu
Sebab dengan bersama, kamu dan aku bisa nikmati hujan yang jadi belaian
Sebab dengan bersama, kamu dan aku bisa nikmati matari yang jadi energi
Sebab dengan bersama, kamu dan aku dalam bangunan yang memegahkan kesatuan!

Kemenangan Islam adalah Jiwa Perjuangan kami
Kebatilan adalah Musuh Abadi kami
Solusi Islam adalah Tawaran Perjuangan kami
Perbaikan adalah Tradisi Perjuangan kami
Kepemimpinan Umat adalah Strategi Perjuangan kami
Persaudaraan adalah Watak Mu’amalah kami

Lalu adakah yang tak kau senangi?
Maka sahabat.. ya, kata sahabat, begitu merdeka
Sebab aku tahu kita tak sedang saling memamerkan neraca
Maka masukilah salahsatu pintu yang paling angkasa!

Tahukah, kau siapa sahabatmu sesungguhnya?
Sebab aku tahu, aku tak pernah akan memusuhimu
Sebab aku tahu, kau sesungguhnya saudaraku!

Tugas Humper yang mengubah hidup

Sistematika ilmiah... TETAP HARUS BELAJAR WALAUPUN YANG INI SANGAT MEMBOSANKAN DAN TIDAK MENARIK

Analisis Kasus Pembatalan Perkawinan
Oleh: Mira Fajriyah / 105010100111100

Konteks kasus
1.Majelis Hakim Pengadilan Agama Surakarta dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara pembatalan perkawinan karena melangsungkan perkawinan tanpa seijin isteri sah melalui Pengadilan Agama untuk ijin poligami adalah dengan pembuktian, bahwa benar-benar telah terjadi perkawinan yang dilangsungkan tanpa seijin dan sepengetahuan isteri sah melalui Pengadilan Agama untuk ijin poligami yang dibuktikan dengan :
Adanya alat bukti-bukti surat tertulis seperti kutipan akta nikah yang dapat dijadikan bukti bahwa benar telah terjadi perkawinan yang dilangsungkan Termohon I dan Termohon II tanpa adanya surat ijin nikah dari Pengadilan Agama dan sebelumnya tidak meminta ijin nikah atau mendapatkan ijin dari isteri pertama (Pemohon).
Adanya saksi-saksi dari Pemohon dan Termohon II sebagaimana yang telah dikemukakan oleh saksi-saksi dari Pemohon dan Termohon tersebut, bahwa benar-benar antara Termohon I dan Termohon II telah melangsungkan perkawinan. 106
Adanya pengakuan dari Termohon I sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Pemohon, bahwa benar-benar perkawinan antara Termohon I dan Termohon II tanpa seijin Pemohon dan tanpa adanya surat ijin nikah dari Pengadilan Agama untuk ijin poligami.
2.Pertimbangan yang digunakan Hakim dalam memutus perkara pembatalan perkawinan adalah berdasar pada :
Adanya penipuan yang dilakukan oleh Termohon I yang mengaku duda cerai padahal ia masih terikat perkawinan yang sah dengan Pemohon dan terdapat adanya kebohongan dari pihak Termohon I pada saat proses pendaftaran nikah Termohon I dengan Termohon II, dimana Termohon I melampirkan kutipan Akta Perceraian No: C.12/1983 yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil Kota Surakarta tanggal 24 Juni 1989. Dari kutipan Akta Perceraian tersebut nampak jelas ada perbedaan, dimana tahun perceraian terjadi pada tahun 1983 sedang keluarnya Akta Perceraian tahun 1989. Demikian pula nama istri yang dicerai adalah Oei Lien Nio bukan Endra Dewi sebagaimana dalam daftar pemeriksaan nikah, dan juga ada unsur ketidakjelian dari pihak Kantor Urusan Agama Kecamatan Laweyan sehingga terlaksana perkawinan antara Termohon I dan Termohon II.
Perkawinan antara Termohon I dan Termohon II dilangsungkan tanpa ijin istri sah melalui Pengadilan Agama untuk ijin poligami, sebagaimana diatur dalam pasal 24 UU No.1 tahun 1974 dan pasal 71 huruf (a) 107 Kompilasi Hukum Islam yang pada prinsipnya menganut asas monogami sehingga seorang suami yang akan melakukan poligami harus mendapatkan persetujuan dari istrinya dan surat ijin nikah dari Pengadilan Agama untuk ijin poligami, maka perkawinan yang dilangsungkan tanpa seijin isri sah dan surat ijin nikah dari Pengadilan Agama untuk poligami dapat dimintakan pembatalan.

Analisis
1.Pernyataan merupakan benda terkuat di muka kasus hukum Perdata
2.Akte otentik merupakan bukti pendukung paling kuat
3.Penegakan hukum perkawinan dilakukan dalam konsep gugat dan laporan
4.Pemohon merupakan istri sah yang tidak pernah memberikan izin nikah poligami bagi Termohon I
5.Termohon I melakukan pemalsuan pengakuan di muka PA
6.Klep hukum perkawinan berbentuk gejolak kemasyarakatan yang muncul ke muka pengadilan, yang selainnya di anggap hukum berada dalam status quo

Kesimpulan
1.Perkawinan antara Termohon I dan Termohon II oleh sebab pemalsuan akta oleh Termohon I batal demi hukum disebabkan pengakuan dan gugatan Pemohon.
2.Hukum Perkawinan yang termasuk dalam sistematika hukum perdata Indonesia menganut penegakan sebagai anfullenrecht.

Semoga bisa terus lebih komunikatif! :)

Ini adalah barisan kata-kata paling sederhana yang baru bisa gue bikin, woahahhaaa,, sekarang baru fahim gimana caranya... d+.+b

Pendahuluan
Hari Bumi diperingati pada tanggal 22 April secara Internasional. Hari Bumi dirancang untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap planet yang ditinggali manusia yaitu bumi. Pada tahun 2011 ini, dalam rangka memperingati Hari Bumi, BEM FH UB kembali mempelopori gempita peringatan hari internasional ini di lingkungan Universitas Brawijaya pada umumnya, dan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya pada khususnya.
Bumi merupakan satu-satunya ruang dimana manusia dalam berbagai pola dan hidupnya bersatu. Ruang bumi merupakan spirit untuk umat manusia bepadu memajukan langkahnya. Bumi adalah spirit. Bumi adalah pijakan paling praksis dari semua sudut reflect kepentingan. Maka, peringatan hari bumi yang tidak lain membawa makna pemersatu langkah dan evaluasi terhadap apa yang bisa kita lakukan untuk bumi ini sama pentingnya dengan serangkaian kegiatan lainnya dalam 353 hari lain yang kita pergunakan di bumi ini.
Selanjutnya, mahasiswa sebagai aset intelektual bangsa merupakan titik strategis bagi pemberdayaan spirit pelestarian ini. Mahasiswa juga sebagai iron stock yang haruslah terpersiapkan demi masa depan bangsa dan negara. Mahasiswa adalah sentral. Sehingga seperjalanannya dalam latar belakang kenyataan tersebut, pembudayaan pelestarian alam dan diskusi-diskusi mengenai bumi di lingkungan kampus merupakan hal yang lazimnya terlaksana secara consist.
Kegiatan ini ditujukan agar mahasiswa khususnya turut berkontribusi terhadap kelangsungan hidup umat manusia. Diharapkan Peringatan Hari Bumi ini dapat digunakan sebagai salah satu sarana untuk mencegah kerusakan lingkungan dan mempersiapkan paradigma umum dalam berperan aktif untuk menjaga Lingkungan Hidup.

Sunday, March 27, 2011

Perang

Akan kusampaikan padamu tentang sesuatu, sahabat. Untuk semua hadiah gelisah di balik sukar yang kau rasa. Untuk semua asa yang tercita-citakan. Untukmu, sahabat, galau yang menjelma jadi musuh pribadimu hari ini.

Tahukah, bahwa hijab antara kau dan Tuhanmu akan tersingkap di hari yang tak terbayangkan lagi. Tahukah, bahwa rasanya manis, menikmati malam kasih dengan lantunan penghambaan yang tinggi. Tahukah, logika bisa jadi bulat melingkar. Lalu mengakar dalam skema kosong tanpa makna. Lalu pergi mengawang, meninggalkanmu sendiri.

Bahwasanya kudapatkan bunyiannya tak seperti kau! Bahwasanya tak kudapatkan pena itu seperti kau!

Dan aku kalut, sahabat. Dalam runutan kisahku kemarin. Sebab aku gerimis, ingin pergi mengasap ke biru lautan. Sebab aku ingin pulang. Ke kampung surgaNya. Kapankah bisa saat direkrut calon syahid di rumah-rumah negeriku? Maka jika saat itu aku bukan wanita, pastilah aku ada di barisan itu.

Perang. Perang yang nyata. Perang. Perang mengangkat senjata!

Subuh

Sekarang aku benar sadar bahwa kau, sahabatku, memanglah orang hebat. Sampai-sampai aku masih berani menuliskan namamu di embunan jendela kamarku. Sampai-sampai aku masih saja kecewa karena tak dapat ikuti langkah-langkah besarmu itu. Kamu, sahabatku, sekarang masih ku ingat sebagai dirimu yang duabelas tahun itu. In ana uhibbukumu illa lillah.

:D

Focus show ruangan itu adalah sebuah podium elegan di kanan panggung tinggi yang angkuh. Disana, sebuah suara yang ku kenali mengalunkan nadanya dalam Arab fusha yang fasih. Tak sempat kucerna sempurna semua kata yang diluncurkannya. Ia begitu hebat, sinar matanya masih bening seperti dulu. Kacamatanya masih saja berbingkai hitam yang itu dan setelah usai salamnya, ia-pun menoleh ke kirinya, mengantar senyum kelunya yang kentara - ke arahku.

Maka dimulai-lah senyap tenang yang mewah itu. Sesaat setelah detak sepatunya terhenti di langkah ketiganya di luar podium. Lalu ia menundukkan wajahnya khusyuk, kemudian mengangkatnya kembali, terujar takzim dari bibirnya, "bismillah...". Ia berbalik kembali ke podium jati.
Lalu serunya, "Ahlan wa sahlan yaa ahlul fikrah! Salaamun'alaiki yaa ahlul fikrah!"
Gemerlap takbir lalu menyambar telingaku tanpa ampun, tak terkecuali dari berdirinya seorang lelaki tua, guru tafsirku itu, di kursi forum di hadapanku, mengepalkan tangannya seraya jelas menujukan takbirnya itu kepadaku. Aku menangis.

Kemudian Fathir Al Quraabid masih dengan sosoknya yang ku kagumi, ia menghadiahiku kembali. Aku berhutang padanya untuk kesekian kali. Dan aku dibuatnya menumpahkan rasaku lagi. Ya, sahabat! Kau luarbiasa hebat!

:D

Seakan bara yang begitu panasnya mengungkungi ruang ini, ruang temu Konferensi Asia-Afrika. Bandung, kota gerimis. Kota yang manis dalam sederetan kotak kisahku yang sinis.

Di segarisan tepat di depanku, Abid duduk mewah di sisi para pakar yang lainnya. Sesekali senyumnya yang sempurna itu menemui mataku, masih menyemangati penuh bingkisan hati. Sahabatku, ayahku. Ya, seperti seorang ayah yang tak pernah ku punyai. Perlahan aku memang mengingatnya di lapangan basket SMP-ku, saat mengajariku mengendarai sepeda roda duanya yang super besar. Hahhaha...
Lalu aku larut dalam flashback semu masa laluku, kemudian terantuk menyadari, dia kini bukan yang itu lagi. Dia kini, yang memintaku dan aku menolaknya sebab lemahnya imanku. Kami memang tak sepadan samasekali. Bahkan aku kehilangan hafalanku setiap hari. Bahkan aku belum selesai perkara diriku sendiri. Bahkan aku, ya, sehina ini.

Lalu tiba-lah waktuku untuk menempatkan nyawa dan jasadku dalam satu dimensi, disini. Sebab mereka kini menanti suaraku berkicau menyuarakan apa yang kutulis sebagai isian map putih di masing-masing tangan mereka.

"Bismillahirrahmanirrahiim. Alhamdulillah, Alhamdulillahirabb al 'alamin. Al Malikul Quddusus Salaam, Al Wahidul Ahadus Samad, Al Muntaqimul 'Afuuw, Wa Ad Darrun Nafii'." Kubacakan Al An'am yang kucintai permulaannya, kubacakan Al Fajr yang kucintai alunannya. Dan aku sekedar cinta. Ya, ini tentang ayat-ayat hijaiyah yang sempurna.

Perlahan aku kembali masuk dalam iluminasi bayangku sendiri. Perlahan kubangkunkan diriku, ku jejakkan kakiku di karpet merah yang melapisi panggung angkuh ini. Tak pernah kuduga sebelumnya, bahwa aku bukanlah lagi diriku yang jantungnya berdetak kencang saat melihat sosok Abid keluar pertama kali dari balik gorden hitam di ujung lorong panggung itu tadi.

Ya, ia memang telah mengantarku kesini, seorang akademisi Salaf yang kukagumi. Seorang ahli strategi yang merancang alur misi sepanjang ini. Seorang sahabat yang ku kenali. Saat ini di akhir sayup bacaan tilawahku subuh ini, aku hanya bisa mengenangnya, sesekali membuka update diskusi yang dikirimnya ke emailku walau tak pernah dapat balasan.

Dulu karena aku terlalu sering menunggu. Mungkin kini, aku harus ditunggu. Kata ibuku.
Dulu karena aku sering sekali menungu. Mungkin kini, aku tak tega membiarkan orang lain menungguiku. Ya, seperti itu, kataku.

Saturday, March 19, 2011

Anak kecil

Salahsatu indikator paling menentukan dari ketidakdewasaan adalah perasaan senang ketika dibilang, "Kamu kan sudah dewasa".

Itu sama saja dengan kasus para semata wayang yang punya izzah tersendiri di balik sebutan "kakak" yang dinisbat oleh orangtuanya. Padahal itu memang hanya untuk menghibur hatinya saja bahwa dia tak punya saudara seperti yang lainnya. Dan panggilan "adik" malah seakan memutuskan harapannya untuk suatu hari nanti benar-benar akan jadi seorang "kakak".
Benar-benar mental super tahu bacem.
Bagaimana kalau punya kembaran? Lucu bukan? Atau adik laki-laki yang bisa di ajak main Winning Eleven? atau adik laki-laki yang bisa di diktekan kosakata English dan fusha sejak umur dua tahun? PASTI KEREN! Atau adik perempuan yang bergaya lucu waktu dipermainkan? atau adik perempuan yang bisa di wariskan pemikiran-pemikiran konyol soal kritisasi doktrin HEGEL? Beeeeeh!!! Amazing kan? Dan tetaplah ia jadi seorang sentimentil yang cemburu. What a baby tweety!

Sepotong dialog telah mengajari saya sesuatu,

a : ya anda sudah besar. Tapi anda tentu saja belum dewasa.

b : memang apa indikator kedewasaan? Saya bijaksana dan berkepala dingin untuk setiap lini masalah. Dan saya tak pernah butuh berkonsultasi dengan orang-orang dewasa macam anda.

a : Indikator kedewasaan adalah dengan tidak menanyakan apa itu indikator kedewasaan.

b : begitulah anda, melingkar!

a : dan begitulah anda, sombong berpikir. Cobalah sesekali buntuti maksud kalimat orang lain. Tak bisakah satu detik saja jadi penurut?

b : anda membingungkan.

a : Anda yang pernah memaparkan perhubungan substan dan simbol kepada saya minggu lalu, kan? Cari jawabannya sendiri-lah. Tak bisakah sedikit rendah hati?

Sepotong dialog paling konyol yang tak berujung tapi cukup memberi stimulus bagi ekstraksi makna.
Ya, saya rasa kedua pelaku dialog itu sama-sama tak dewasanya. Bukankah kalian berpikiran sama?
Tahukah, bahwa hukum terlanjur jadi line yang dibutuhkan para dewasa yang beradab. Yang punya tatacara. Yang menanggapi segalanya dengan kerangka adab yang telah matang.
Mereka - para dewasa - mungkin juga orang-orang yang lulus cetakan masa. Tentang pola saat ini dan apa yang harus dijalankan di masa depan. Tentang role bagi makhluk-makhluk yang di sesapi doktrin riil hidup.
Ya, mungkin begitu.

Sementara perhubungan substan dan simbol tetap berbentuk harga dan barang. Bagaimana nilai harga yang dilabel adalah simbolnya, berwujud kata "dewasa". Sementara kemanfaatan instristik barang itu adalah substannya berwujud draft atau isian penyempurna simbolnya. Terkadang alurnya simultan tapi kadang yang satu lebih punya superego yang menguntungkan dewi fortuna.
Ya, mungkin begitu.

Dan katanya, lagi, "dewasa adalah ketika kau berkata pada anak kecil, 'kamu kan sudah dewasa'."
Ya, mungkin begitu. Tak tahulah!

Thursday, March 17, 2011

I beg you to home

Agak lupa dengan linknya, tapi alhamdulillahnya, saya masih ingat substannya. Sebuah informasi menyebutkan bahwa dalam satu hari perputaran uang dalam sektor non-riil ekonomi dunia mencapai US$ 1,6 million sementara dalam setahun, hanya US$ 6 million yang dihasilkan oleh sektor riil.

Saya tak ingin membuka barisan paragraf ini dengan indah. Sebab saya sengaja. Sebab para manusia serakah ini-pun sengaja.

Masih saya genggam salahsatu poin ketentuan debat, bahwa pro satu harus memaparkan kosakata yang akan digunakannya sebagai batasan masalah. Dengan redaksi nalar yang agak ganjil, walaupun saya lebih sering jadi makhluk kontra dalam segala hal - karena kebanyakan masalalu saya ditemani setumpukan jilid The Origin of Species dan Il Principle - tapi setiap kesendirian butuh permulaan persepsi. Permulaan persepsi penting untuk mengantar orang lain memahami rujukan pemikiran anda. Bukan untuk wacana yang akan mengalirkan pembantaian dan spionase bertingkat tapi untuk membuat para pembaca kata-kata anda menjentikkan jarinya lalu berseru, "oh, begitu maksud anda,". Semoga saja saya benar-benar telah paham setelah meninggalkan alinea yang ini.
-_-"

Sektor riil ekonomi sepemahaman saya adalah bidang-bidang aliran maal yang konkret, dimana pertukaran barang dan pemindahtangananya yang dalam perjanjian itu mengikat suatu kemanfaatan yang langsung. Contohnya, kegiatan ekonominya PKL yang mau digusur dari UB.
Sementara sektor non riil sepemahaman saya - juga - adalah bidang-bidang aliran maal yang abstrak, dimana pertukaran barang dan pemindahtangananya yang dalam perjanjian itu tidak mengikat suatu kemanfaatan yang langsung. Contohnya, kegiatan ekonominya para e-li-te yang main saham Garuda.

Konyol nggak sih gue? Hahhahaa... pertama kalinya otak tidak terstimulasi maksimum ketika merumuskan suatu definisi. Ya, resume! Kata paling menjijikkan sedunia, sumpah.

Sektor riil meliputi kegiatan yang terkait dengan permintaan agregat dan penawaran agregat dalam perekonomian. Sektor riil mengacu pada sektor yang memproduksi barang dan jasa melalui pemanfaatan bahan baku dan faktor-faktor produksi lainnya seperti tenaga kerja, tanah, modal atau peralatan produksi lainnya. Sektor riil terkait berbagai hal dalam perekonomian yang bukan dalam kategori sektor moneter. (Leonard Tampubolon - Direktorat Keuangan Negara; Bappenas)
Nah kalo sektor non riil? Ya, kebalikannya lah, --"

Tak ada dikotomi yang tak melingkup semua dalam tataran teori. Sebab jika ada yang belum masuk cakupan keduanya, tentulah si pencetus kotom telah menyebutnya trikotomi atau dasakotomi. Pernah dengar klasifikasi jamur? Dalam suatu redaksi nalar yang lumayan ganjil tapi kocak, deutromicota sebagai ruang klasif ke-empat (ter-update) menemui tempatnya dengan tanda bintang berikut penjelasan, "Deutromicota juga termasuk jenis jamur yang belum ter-identifikasi masuk zygomicota, basidiomicota dan ascomycota."

Orang jahat memang selalu jadi yang terdepan dalam kejahatannya. Sebab itulah ia di-label penjahat. Dan orang baik-pun juga hampir pasti harus terdepan dalam yang kebaikannya. Apa itu baik? Apa itu jahat? Lalu setelah anda dapat rumusannya, anda mau jadi terdepan? Iya, karena terdepan adalah hal yang baik menurut saya. Helleeeh... yang penting soleh!

Kembali,
*next moon

Sunday, March 13, 2011

Petang

Kurasa, mungkin inilah bagian paling menarik dari kisahku tentang Abid. Bagian paling miris dan dramatis. Ya, walaupun aku samasekali tak mengerti awalannya, aku tak paham juga alur kejadiannya. Hingga yang kupahami kini, ya, baiklah, aku memang tak memahami apapun dan masih termenung saat kutuliskan ini. Semuanya berjalan cepat dan ekstraksi hikmah harus kukeringkan secepat mungkin.

Aku tak pernah tahu sebelumnya, bahwa kecendrungan seorang laki-laki terhadap seorang perempuan itu benar-benar shahih adanya. Kecendrungan. Pilihan kata yang tepat untuk membuatku minta ampun setengah gila. Yang bahkan tega membuatku membuat karya aca-ucu macam ini.

Aku baru tahu juga bahwa seseorang - akibat kecendrungan itu - tak dapat tergantikan dengan sosok yang lainnya. Kuberi tahu kau diksi teoritisnya; bahwa itu bernama kesetiaan. Ya, ya, ya, kucoba mengira-ngira sendiri bahwa kedua kata "teoritis" itu sudah pernah kutemui sebelumnya, entah di Ar-ruum, An-nisaa, atau an-nuur. Oke aku memang tak mengerti alurnya. Dan ekstraksi hikmah harus kukeringkan secepat mungkin. Bahwasanya suatu persepsi bahasa nafs harus dipadankan dengan otak yang mencetuskannya.

Dengan begitu, aku harus kembali mendeskripsikan seorang Fathir Al Quraabid. Sebagai suatu untitas otak yang menerbitkan dua peristilahan itu demi memintaku menjadi istri keduanya. o_O"
Muhaadatsah paling konyol yang kubuat dengan seorang yang kusegani keunggulan ilmunya. FYI, aku mulai merasa telah menderivasikan diriku kembali jadi remaja puber 16 tahun! Cerita busuk macam ini harusnya bisa jadi hiburan buat tahun depan. Semoga saja.

Aku mungkin telah terperosok dalam khandaq yang kubuat sendiri. Soal dua makhluk Freudian. Tentang penanganan Histeria Bertha Papenheim yang berujung menggantung. Telah meng-internalisasi dalam diriku klausul-klausul sesat Sigmund Freud dan perpanjangan teknis psikoanalisis anaknya; Anna Freud. --" Semakin tega saja dunia ini. Semakin penjaralah bagiku.

Tapi kuduga, ini tak lebih parah dari seorang Abid yang berubah jadi orang lain yang tak kukenali saat meluncurkan dua frase mengerikan itu. Yang bahkan ketika kusampaikan protesku, ia menjawabnya enteng, "Yang seperti ini, selalu bisa membuat semua orang, siapapun, tak mengenal dirinya sendirinya lagi."

Apa yang sempat kau pikirkan tentang cinta sebelumnya? Bahwa kemudian aku jadi merasa terhina.

Saturday, March 12, 2011

Paradoks

Menginduksi fakta, membangun generalisasi warna. Lalu kausa halal jadi baku. Formil atas deduksi bangun bentuk. Sebuah alur paradoks menggelitik dalam runutan nalar dan sisian kemanusiaan. Bahwasanya dikotomi al haq dan bathil tak lagi jadi kacaan penghambaan.

Sementara cicit burung berkata, bahwa suaranya jadi indah di telinga tuannya. Digiring meng-angkasa, ditarik ulur gelungan tambang coklat. Pagi dan sorenya, jadi do'a ma'tsur yang dilagukan. Demi katanya, kebahagiaan.
Atau ini tentang lukisan di dinding kamarku. Zora merah di horizon cakrawala, ditangkap frame indera manusia, sebagai mekanisme maksimalisasi hasrat penikmatan sunnah ilahiah.
Ya, bisa juga mengenai terpal biru di atas rakitan besi. Juga ketika ia dibumikan bersama rumput; jadi alas duduk dan cicitcuit tertawaan semut hitam.
Bukan, ini tentang hal sesederhana membeli permen dan membayarnya.
Sebuah alur paradoks menggelitik dalam runutan nalar dan sisian kemanusiaan. Bahwasanya dikotomi al haq dan bathil tak lagi jadi kacaan penghambaan.

Hanya ada satu kunci dikotomi hakiki di dimensi ini. Baik dan buruk1. Ushulnya, kebaikan akan kekal dan kejahatan akan lenyap. Perpanjangannya, Allah Yang Maha Kekal menyifati diriNya dengan Maha Benar. Rakitannya, yang buruk itu-pun sunnah dari Yang Maha Baik. Maka konklusinya, refleksi paradoks diserap tak sempurna dalam perubungan aqliyyah. Dan jika kemudian anda bertemu klausa bahwasanya adanya sisian baik dan buruk merupakan sunnah kebaikan Allah maka saya bersepakat dengan anda.

Alur unfinished logic dalam pembacaan kauniyah semesta bisa menjadi syndrome yang menyakitkan bagi para penderitanya. Dan saya kira telah banyak juring komunitas yang terjangkiti. Terutama dalam masa ini, di saat kepemimpinan pemikiran ada di roda-roda jahiliyyah. Setumpukan generalisasi jadi semacam impuls pembenaran hasrat nafs; entah yang haq atau bathil.

Maka ketika ditanya tentang inginnya, kebanyakan kita akan menekuri premis penghubung atas cita dan citra diri. Yang disaat keterbutuhan menderivasikan klausulnya secara revolusioner, menjelma jadi runutan list, "sempurna, seperti ini". Lifeline means a trial, not on what you want but what you have to. On a better day, you know you want what you have to, thats named, faith. Better you take the better day today.

Mungkin itulah sebab banyak inovasi di dunia ini. Sebab angka satu bisa diartikan lidi bisa juga jadi selembar hati. Kemudian jika ditanya apa inginku, maka ku ingin simbol satu jadi selurus peruntukkannya. Atau cicit burung jadi seindah merdekanya. Hingga zora merah tetap ada di luasan angkasa. Jadi tak ada lagi tertawaan semut hitam untuk terpal biru yang dibumikan ke tanah. Sederhana bukan?

Thursday, March 10, 2011

Jangkrik

Mari berbicara tentang putus asa ketika kau akan mengepakkan sayapmu ke angkasa. Tidakkah kau tahu bahwa ranum bunga adalah silang silih dari sebuah bahasa putus asa? Ketika disadarinya, putik tak akan menghasilkan benang sari sendiri. Ketika ditariknya satu akhiran percaya diri.

Panggung sosial jadi penuh busa yang membuatku muntah di pagi hari. Ketika kubuka koran hari ini dan kudengarkan cicit cuit mereka di televisi. Para manusia ini, bagaimana jika kutawarkan mereka setumpukan playlist mp3 Simple Plan atau klise von Savigny?

Salahsatu keruwetan yang harus diderita para psikopat pikir sepertiku adalah, isian radict dari setiap kata yang terucap dari mereka mendadak jadi persepsi penuh sinisme yang sentimentil. Mungkin saja, tendensinya negatif. Tapi gila, aku memang harus pergi ke salahsatu pusat refleksi yang sia-sia itu.

Berbicara akhlaq, putus asa tentu saja bukan akhlaq seorang muslim. Hanya orang kafir yang menderita putus asa sebab mereka telah ditutup dari rahmat Allah, begitu bunyinya. Ayo coba kita bermain sedikit nakal. Oleh sebab terputus dari tetapan rahiim Allah maka asa(cita) mereka-pun usai sudah, mungkin itulah sebab frase katanya menjadi "putus asa". Sebuah petanda kehilangan arah.

Lalu bagaimana masalah akumulasi failed trial seorang muslim. Adakah juga itu artinya kehilangan arah? Bagaimana tentang gantian kemudi seorang pilot yang tak lagi percaya diri? Adakah juga itu artinya final konklusi?

Ha.. ha.. ha..

Tambah gila.
Nanti malam, kupikirkan lagi. Sambil kutunggui telepon ibuku dan berbisik pada jangkrik yang kupelihara sampai hampir mati, di dalam sini, khayalan saja, tak ada jangkrik di Malang sini! --"

putusasakarenajangkrik.code@lifeline.ink

Untitled

Sebuah ketulusan adalah sesuatu yang masih jadi amat teramat rumit hingga kini. Menempati sebuah selorok paling pojok di lorong pemikiran konkret. Sebuah kata yang jadi penuh drama dan dilema dimana aku hanya menemukannya tanpa orang lain di sisian kanan kiri.

Ialah sebuah gerakan yang melahirkan energi tanpa peri. Bukan lagi tentang merah yang membara atau kata-kata yang membaca. Bukan juga tentang cinta dan nalar kausa. Ketulusan, bentukan paling putih jika putih berarti suci. Juga, bentukan paling merah muda jika merah muda dianggap suci. Dan juga, bentukan paling biru angkasa jika biru angkasa mengurai makna suci. Ya, bahkan ia prisma yang mendistorsi warna jika yang demikian dinalar sebagai kesucian.

Dan aku mulai merasa, bahwa ia tak perlu warna apapun lagi.
Dapatkah kita jadi hanif tanpa jadi seorang faqih?
Impuls syaraf ku mulai hampir pecah dibuatnya.
Ketulusan, sebuah bentukan paling radict tentang makna.

Pernah kupikir sesekali. Bahwa bulan jadi semakin pucat seiring hari. Mungkinkah karena geli menertawakanku lagi? Premis paling gila yang pernah terselip di loker-loker pikirku, bahwa bulan terbuat dari keju sehingga kucing mati di jalanan.

Tulus adalah sebuah bahasa tentang diri. Tentang satu perhelatan amal besar dan kecil. Tentang saklar paradoks umum penuh dilemma.

Tahukah, bahwa kini tulus jadi momok paling gila menyerangku.

Dan aku mulai merasa, bahwa ia tak perlu daya apapun lagi.
Dapatkah kita jadi hanif tanpa jadi seorang ahli fikrah?
Impuls syaraf ku mulai hampir pecah dibuatnya.
Ketulusan, sebuah bentukan paling radict tentang makna.

Kupikirkan lagi kali ini. Bahwa mungkin aku tak perlu lagi susah-susah berpikir. Sebab mula akhir adalah awalan dan asal parsialisasi adalah generalisasi. Jadi, mungkin saja, artesis pemikiran adalah dengan tidak berpikir. Lagi, sakit gila nomor 33, bahasa Andrea Hirata.

Tulus adalah sebuah mekanisme diksi paling tinggi. Yang penerjemahan thesisnya tak perlu terkata-katakan lagi. Tulus mungkin juga saat kau menahan diri dari ketidaktulusan. Dan saat ini, ketika kukatakan kalimat itu, mungkin aku memang sedang tak tulus.

Dan aku mulai merasa, bahwa ia tak perlu kata apapun lagi
Dapatkah kita jadi hanif tanpa jadi seorang ahli shirah?
Impuls syarafku hampir pecah dibuatnya.
Ya, ketulusan, sebuah bentukan paling radict tentang makna.

Dan aku memang masih berpikir. Bahwa dengan berusaha tetap tulus adalah sebuah kesombongan dalam bentuk lain lagi. Jika dengan itu, mereka masih juga tak mengerti tentang caramu.
Dan kali ini, saat ini, saat aku menuliskan kalimat itu, mungkin aku memang masih tak tulus juga.

Maka bisakah aku jadi hanif tanpa kalian?

Sunday, March 6, 2011

Dialektika kata-kata

Oleh: Alfajriwasntd13

Keanekaragaman bahasa dan bangsa dunia bukanlah lagi jadi klausul yang perlu ditelisik ulang. Sebab kita tentu saja tak lagi hidup di zaman purba dimana satu bahasa mengakar bersimbiosis dengan kehidupan lokal. Di tengah gencarnya percepatan arus impuls informasi dalam maya, ketersediaan ribuan bahasa yang ter-akulturasi dalam regional penutur secara gamblang menderivasikan satuannya sebagai pengantar.

Tarikan nalar dari fakta kebhinekaan bahasa ini sejalan dengan semakin maraknya deskripsi entitas kultur dalam kajian-kajian psikologi modern. Kata adalah sebuah petanda, tendensi, maknawi dan kromatograf pribadi penuturnya. Lebih jelas, pembacaan pilihan kata bisa jadi sebuah kuncian untuk membuka ruang latar belakang dan unitas psikis seseorang.

Saya tentu saja tak akan menjabarkan perhubungan psikis suatu populasi kultural dengan kebahasaan yang mereka gunakan. Sebab untuk meng-inventarisasikannya mungkin dibutuhkan waktu lebih dari jatah hidup saya. Sebagai sebuah analogi konteks, di Pulau Jawa saja, telah subur beribu dialek dengan kacaan psikis entitas lokal. Dengan itu, saya lebih memilih membaca kitab tebal UU hukum perdata daripada merelakan kebotakan bertumbuh di pemikiran saya. Siapakah juga manusia yang sanggup merampungkan penelitian untuk rangkuman rigid inventarisasi ke-anekaragaman homo sapiens ini?

Selanjutnya, kini kita terpahami bahwa analogi konteks akan membuat kita menyentuh ekspansi abstraksi.

Rantai perpanjangan abstraksi selanjutnya akan menemui pos-pos maknawi dari diksi. Hingga muncul sebuah nalar paradoks umum. Yakni, selipan maksud asli dan saduran sense retorika. Ambil saja satu kata “Innalillahi..” yang dalam keseharian dicetuskan sebagai petanda duka dan kehilangan dan dalam interpretasi awalannya adalah polos-jujur pengembalian ilham diri atas pengakuan nilai ke-Illahi-an. Yang jika ditarik perhubungan keduanya, sampailah pada sebuah konklusi, satu simbol kata selalu membawa dikotomi ekstraksi sekaligus. Entah dilihat dari niatan penggunaannya atau sampainya message ke partner pendengar.


d^-^b
Ya, bahasa memang tetap jadi bahasa. Seperangkat peralatan paling gila di dunia. Yang katanya, hanya dimiliki makhluk dengan tingkat kecerdasan yang terlegitimasi konvensi jiwa..

Dan kenyataan bahwa kita seringkali menemui topeng busuk para ahli pidato kini jadi materi khusus para penikmat bualan warung kopi. Yang disebutnya, melantunkan nada-nada surga mengenai "dalam masa kepemimpinan saya". Ini tentu saja bukan tentang tudingan kasar untuk para birokrat negeri masa ini. Tapi hanya sebagai suatu jembatan analog, bahwa sirkulasi paradoks kata umumnya keluar di masa-masa penuh visi dan rancangan.

Kembali pada seorang Freud dan kawan-kawannya - para salibis - yang menutur agama sebagai khayalan kanak-kanak dalam pembahasaan sederhana, kita kembali bisa mengambil ekstrak nalar praksis yang dangkal. Sebuah map paradoks yang lupa ditutup saklarnya. Yang ketika dinisbatkannya imajinasi sebagai tanda kecakapan akal - berikut perhubungannya dengan impuls memori dan nalar - di satu sisi, mereka yang mengaku cerdik pandai itu malah mendeclair "percaya" pada sebuah ketentuan-ketentuan agama sebagai filologi lapuk. Gila, sebuah paradoks pikir dan diksi kata telah dengan dzalimnya memutus saklar perhubungan sunnah - jadi gelap, hanya cicit jangkrik yang diraba halus-halus.

Dalam simpulan keanekaragaman dan petanda kultural, kata memang layaknya tendensi kelayakan dan deskripsi umum. Hingga dalam proses memahami, pemaknaan harus selalu diputus dalam ruang parsialnya, jika memang tak ingin dianggap "ngawur". Sebuah norma dialektika kata yang bahkan berjalannya tanpa persetujuan kita; penggunanya.

Yang seperti ini, bisa keluar dalam pola radict atas hal lainnya. Terutama dalam pemaknaan ruang-ruang teori sosial yang menggila. Bandingan lurusnya, tahukah, bahwa sebuah kepemimpinan digarap dalam sebuah lapangan tertentu, bukan batasan kewenangan. Sebuah dogma yang menjalari mekanisme kerja dewasa ini, jalur rigid kewenangan dianggap satu jalan dalam capaian ideal bagi penyelesaian "misi". Lagi, sebuah paradok pikir dan diksi kata telah dengan dzalimnya memutus saklar perhubungan sunnah - kini jadi busuk, disiram bah yang ter-uap-i di highway.

Dialektika, mewakili dikotomi yang selanjutnya merangkai paradoks dalam siklusnya, hingga sampailah pada hukum balik deduksi-induktif dan induksi-deduktif yang tak pada saklarnya.

Thursday, March 3, 2011

Pagi

Aku ingin berbicara tentang hal yang sederhana saja. Bukan tinjauan "sok" kritis yang dimainkan Abid di siaran opininya pagi itu. Tentang dirinya dan dunia. Alur hidup, senyum, dan tangis.

Kukira aku tak lagi ingat wajahnya. Bentukan senyumnya di Fajar waktu itu, ketika ditunjuknya ufuk jingga temaram seraya menyebut masdar namaku dengan intonasi sempurna. Warna suara dan tawanya. Ya, aku tak lagi ingat nyata wujud fisik sahabat terbaikku. Aku hanya ingat kacamata bingkai hitamnya yang tigakali berganti karena ulah cerobohku. Hahhahaaaa... lucu.

Aku ingin berbicara tentang hal yang sederhana saja. Yang sampai-sampai jangkrik memahami penuh arti. Yang warnanya hijau dan coklat. Yang semalamannya, kudengar berbisik mengusik, di sisian toilet samping kamarku.

Sebab aku tahu Abid tak perlu di ingat dari raut wajah dan lekuk wujudnya. Sebab aku ingat ia lebih dari itu. Ya, saat itu, saat ini, nanti, dan sampai Allah memberiku ruang istirahat dari memori tentangnya. Ya, ketika kacaan yang miris itu menemui gorden coklat rasa stroberi, berubah warna jadi es krim berselimut coklat merah muda.

Abid. Aku hanya ingin berbicara hal sederhana saja. Sesekali, jika itu memang bisa didapatkan dari sekedar berdialog dengan bolpoin hitam dan gantungan kunci darinya.

:)

Sebab sekali itu, Abid kembali dengan senyumnya yang sama. Mata bening di balik kacamatanya itu, menerawang jauh ke pelupuk pagi. Ditunjuknya sudut cahaya kekuningan di kejauhan.

"Fajar!" serunya

Aku tersenyum, mengikut arah pandangnya yang kemudian. Ini masih tentang dia. Ini tentang Abid. Ya, Fathir Al Quraabid.